Kopilogi: Opini
Responsive Banner design

(In) Toleransi? Selamat Berpikir!



Membahas toleransi secara detail bukan perkara mudah. Sebab saya bukanlah ahli agama, pegiat sosial, atau seorang fanatik. Saya tak punya kapasitas untuk menetapkan suatu keadaan atau peristiwa sebagai tindakan intoleran. Saya hanya meyakini bahwa toleransi muaranya kepada perilaku, bukan sekedar ngaku-ngaku.

Seperti pendapat Djohan Efendy, toleransi menurutnya adalah sikap menghargai terhadap kemajemukan. Tentunya, bukan hanya sekedar mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain. Tapi, juga terlibat pada upaya mengetahui dan memahami adanya kemajemukan.

Entah sejak kapan isu intoleransi mengutak atik negeri ini. Apakah karena keragaman budaya dan agama sehingga praktik dan paham  yang tidak toleran mudah menjamur? Sangat menyedihkan bila agama yang punya nilai sakral, pengikutnya sengaja diadu domba satu dengan yang lain. Kita tahu, isu agama sangat mudah menyulut api pertikaian.

Lebih celakanya, isu-isu semacam ini justru digoreng dan dipertontonkan di ranah publik. Para tokoh yang ngaku "paham" agama membuat dalil dan definisi sendiri. Seolah, tidak ada lagi tempat untuk ber-Bhinneka Tunggal Ika di negeri ini. Padahal jauh di pelosok yang kurang disentuh media, masyarakat tak begitu tahu arti toleransi. Tapi sikap mereka, perilaku yang ditunjukkan, nilai yang diperlihatkan, jauh melampaui definisi toleransi.

Enrekang, daerah yang berbatasan langsung dengan Tana Toraja, punya banyak cerita yang tak habis dibagi bila mau bicara toleransi. Masyarakat Enrekang, khususnya wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja, telah lama hidup berdampingan dengan damai. Mesjid dan Gereja lumrah bersebelahan. Bahkan, ada banyak keluarga yang hidup serumah, dengan agama yang berbeda.

Hebatnya, agama bagi mereka bukan hal yang rendahan untuk jadi alasan tidak saling mengasihi. Agama, bukan pula barang mainan yang boleh dicampur aduk seenaknya hanya untuk melanggar nilai-nilai yang diyakini oleh para penghuni rumah.

Tana Toraja sendiri, dengan penduduk mayoritas beragama Kristen, mampu menunjukkan nilai toleransi tingkat tinggi. Sebagai contoh, tahun 2019, Kabupaten yang dikenal dengan sebutan Bumi Lakipadada ini menjadi tuan rumah Seleksi Tilawatil Qur'an dan Hadist (STQH) ke-31 tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Di Kota Makale, tempat digelarnya kegiatan, menjadi surga bagi keberagaman. Tak ada yang peduli soal isu-isu intoleransi.

Apa yang terjadi di sana (Tana Toraja) bukan hal remeh-temeh. Agama memang urusan privat bagi para pemeluknya, namun apakah sebagai muslim, peserta yang hadir akan berkompetisi di dalam gereja? Apakah selaku tuan rumah, kaum Nasrani wajib hadir dalam kegiatan untuk mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran demi menghargai tamu? Tentu saja tidak.

Setiap orang hendaknya menghargai dan menjaga kemerdekaan orang lain untuk menjalankan agamanya, demikian pandangan Cak Nun menyoal toleransi beragama. Banyak yang paham soal ini. Banyak pula yang buta definisi, tapi soal saling menghargai, tak perlu lagi diajari.

Beberapa tahun belakangan, soal semacam boleh tidaknya mengucapkan selamat hari raya bagi saudara kita yang Nasrani, menjadi kebisingan yang merusak akhir tahun. Bagi saya, yang memang tak pernah mengucapkannya, bukan karena tidak punya kesetiakawanan sosial. Lagi pula, saudara kita yang beda keyakinan, tak pernah menuntut diberi ucapan selamat, alih-alih kado.

Mari mulai berpikir. Daripada sibuk mengurusi keyakinan orang lain, mungkin lebih baik kita belajar mendalami agama kita sendiri. Ini lebih penting ketimbang sibuk bertengkar soal intoleransi yang tak kelihatan ujungnya di mana. Hal yang tidak kalah penting, bagaimana saudara kita beribadah di hari rayanya dengan suasana yang aman. Jauh dari kegaduhan dan tanpa gangguan. Selamat Berpikir!

(Musdin Musakkir)







"Matinya" Mahasiswa


Agen perubahan. Kontrol sosial. Generasi kritis. Inovatif. Peduli. Dan, banyak lagi kata yang malah membuat paradoks bagi mahasiswa itu sendiri. Aktif dalam ruang diskusi, bergelimang teori. Namun, dalam implementasi mereka "mati".

Matinya mahasiswa dipicu oleh sikap apatisme yang hadir justru ketika mahasiswa berani berteriak merdeka. Hanya, belakangan mahasiswa sadar, bahwa kata merdeka adalah ibarat mitos pedang terhunus para petarung bugis, " sekali terhunus, darah mesti tertumpah".

Apatisme menjadi benteng antara teori dan aksi. Dalam kehidupan mahasiswa di kampus, hal ini menjadi begitu nyata. Kebijakan pimpinan kampus, amburadulnya layanan akademik, ketidakpastian penyelesaian studi, buruknya sarana penunjang kegiatan belajar, dibalas dengan sikap dingin dengan alasan "cari aman".

Ada beberapa sebab "mati"nya mahasiswa di kampusnya sendiri. Pertama, merasa bahwa tugas mahasiswa sepenuhnya adalah belajar dan diskusi. Sehingga, kesan yang timbul adalah semua problem yang terjadi akan selesai dengan sendirinya. Pimpinan kampus dianggap adalah orang-orang yang pasti tahu cara menyelesaikan masalah dan tugasnya dengan baik. Mahasiswa, diminta belajar saja dengan giat, begitu kira-kira.

Sebab yang kedua, mahasiswa menganggap bahwa tunduk dan patuh dengan segala kebijakan pimpinan kampus merupakan sikap mahasiswa yang baik. Tidak kritis berarti taat. Dan, ketaatan akan serta merta mengantarkan pada kesuksesan. Padahal, kritik  dibangun untuk tidak membenarkan segala tindakan. Kritisme justru menuntut diberlakukannya tindakan yang ideal. Contoh, mendapatkan pelayanan akademik yang baik dari kampus adalah sesuatu yang ideal, sudah semestinya begitu. Sebaliknya, jika tidak baik, berarti tidak ideal. Ada yang salah.

Ketiga, ide dan gagasan yang cemerlang hanya akan menjadi sampah di kepala bila tak dilakukan. Parahnya, mahasiswa membiarkan itu terjadi begitu saja. Mereka mati rasa, kehilangan kekuatan untuk berbuat. Dalam hati kecil, mereka risih dengan peran yang disandang sebagai agen. Di sisi lain, mereka  gembira karena kawan-kawan seperjuangannya juga ikut-ikutan mati rasa. Pengetahuan adalah kekayaan, itu saja yang penting.

Keempat. Mahasiswa sulit bersatu. Maka, kebenaran adalah milik masing-masing individu. Kelompok-kelompok diskusi menjamur hanya untuk mendiskusikan keberlangsungan kelompoknya sendiri. Terkait kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan mahasiswa, bisa diatur. Padahal, kompromi terhadap kebijakan semena-mena kampus adalah pengkhiatan terhadap kepercayaan mahasiswa lainnya.

Terakhir. Ketakutan berlebih. Mahasiswa menganggap bahwa nilai akademik yang rendah adalah bencana. Maka, untuk menghindari bencana tersebut, sebaiknya jangan berurusan dengan yang empunya kampus. Juga, agar lebih disayang dosen atau staf, berhenti mengeluh soal pelayanan. Pokoknya, nikmati saja yang ada, segala kekurangan maklumi saja. Dengan bersikap demikian, mahasiswa tipe ini akan punya harapan menjadi mahasiswa teladan dan penjaga nama baik kampus. Terdengar individualis dan pragmatis.

Memang, menjadi mahasiswa tidaklah mudah. Harapan begitu banyak di pundak kita. Berani menjadi mahasiswa berarti berani untuk mati-matian aksi. Perlu pula dipahami, nilai konstruktif mahasiswa ada dalam kritik. Kritik juga mesti dilakukan dalam semua ruang. Bisa dilakukan dalam dialog, diskusi, demonstrasi, hingga korespondensi.

Mengakhiri tulisan ini, penulis menyinggung diri sendiri, bahwa bisunya mahasiswa, sama dengan mati. Ketidakpekaan terhadap suatu masalah pertanda tak punya rasa sebagaimana pengertian apathes dalam bahasa Yunani. Kalau sudah mati rasa, bukankah lebih baik sekalian mati saja?

(Musdin Musakkir)

Siapa Acak-acak Buku di Perpustakaan?



Bagi saya, Perpustakaan Umum Enrekang adalah wahana intelektual yang mengagumkan. Rumah setiap individu yang mencintai ilmu pengetahuan. Istana megah untuk para pencari kebenaran. Namun, segala macam penggambaran tentangnya menjadi tidak jelas akhir-akhir ini.

Saya dibuat kesal oleh penataan buku-buku di perpustakaan. Niat hati hendak menyelami sastra hingga ke dasar-dasarnya, justru saya malah sibuk bermain dengan gadget: asyik, tapi minim faedah. Apa iya, saya harus menata sendiri  susunan buku-buku yang berantakan tanpa membuat para pustakawan tersinggung? Itupun kalau punya waktu seharian di ruang baca. Dan, tentu saja tak boleh berharap digaji.

Setahu saya, pustakawan adalah orang yang paham seluk beluk pelayanan bagi pemustaka. Tahu alur masuk buku-buku (sirkulasi), penempatannya, dan ramah terhadap pengunjung. Namun sebagian pustakawan sepertinya tidak peduli dengan tugas dan tanggungjawab mereka. Yang terlihat hanyalah orang-orang kaku, lebih kaku daripada penjaga kompleks perumahan. Kebanyakan tidak peduli dengan kebutuhan para pemustaka. Menjengkelkan!




Saya begitu yakin petugas yang bersikap "dingin" itu tidak tahu soal karakteristik pemustaka yang mesti mereka layani. Adalah Septiyantono (2003) yang menawarkan cara menghadapi berbagai karakter pemustaka. Dari 10 poin yang ditawarkan, poin ke- 4 menjadi lebih spesifik ke saya sebagai pengunjung yang selalu ingin diberi pelayanan prima. Poin tersebut adalah: "apabila pengunjung banyak permintaan, dengarkan dan segera penuhi permintaannya serta minta maaf dan memberi alternatif lain apabila permintaan tidak tersedia".

Septiyantono akan sepakat bila wejangannya tersebut saya anggap sebagai: Inti pelayanan di perpustakaan. Dengan itu pula, para pustakawan harus menghadirkan suasana yang menggembirakan di ruang baca, tentu saja menata pustaka agar membuat pemustaka betah


Biasanya, setiap bulan para petugas di perpustakaan akan mengurut dan menata kembali posisi buku-buku sesuai klasifikasinya. Namun, letaknya malah tambah semrawut. Beberapa buku yang masih setia berada di raknya hanyalah buku-buku berat: filsafat, agama, ilmu hadis, dan lain sebagainya.

Saya jarang menemukan buku berada persis di rak sesuai klasifikasinya. Misal, sering buku novel nyebrang ke rak sejarah. Atau, buku psikologi nebeng di rak fiksi. Bukan main membingungkan.

Puncak kekesalan saya terhadap beberapa orang yang melayani para pemustaka adalah sikap mereka yang seolah tidak peduli dengan kenyamanan pengunjung (pemustaka). Mereka bercanda, ngobrol hal remeh temeh, tertawa lepas tanpa merasa berdosa telah mengganggu kenyamanan pengunjung. Saya yakin, pengunjung yang acuh dengan suara-suara bising tidak sedang "membaca". Sementara mereka yang hobi ribut-ribut itu bukanlah orang yang suka baca.

Meski kecewa, saya selalu berharap Perpustakaan Umum Enrekang dapat berbenah. Inovasi dan program sehebat apapun rasanya hambar jika pusat kegiatan literasi ini tidak menjadikan manajemen dan pelayanan sebagai prioritas. By the way, buku-buku terbaru karya Andrea Hirata kok menghilang (lagi) di rak-rak Fiksi? Hehehe

(Musdin Musakkir)






Isu Disintegrasi Hantui Indonesia



Isu disintegrasi kembali mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ancaman yang dimaksud adalah pemisahan diri rakyat papua khususnya Papua Barat melalui referendum. Adalah Pemimpin Organisasi Papua Merdeka (OPM) Benny Wenda, yang mengklaim telah menyerahkan petisi berisi 1,8 juta tanda tangan kepada ketua Badan HAM PBB, Michelle Bachelet, dikutip oleh viva.co.id yang  dilansir dari Channel News Asia, Senin 28 Januari 2019.

Dalam pernyataannya, Benny mengatakan satu-satunya cara untuk didengar adalah melalui petisi. Menurutnya, tidak adanya kebebasan berbicara dan berkumpul yang diperoleh oleh orang Papua Barat. Ia juga mengungkapkan situasi di wilayah Nduga yang sempat menjadi sorotan media nasional beberapa bulan lalu ke Bachelet. Benny mengaku, setidaknya 11 orang terbunuh sementara sebagian lainnya tewas saat berusaha melarikan diri dari pasukan militer Indonesia. Bahkan, sekitar 22 ribu orang lainnya terlantar, klaim pemimpin gerakan separatis di Provinsi Papua Barat itu.


Meski berhasil mengumpulkan jutaan tanda tangan dengan berat disebut mencapai 40 kilogram, upaya tersebut tak lantas dipercaya begitu saja oleh juru bicara Komando Daerah Militer Papua, Muhammad Aidi. Ia mengatakan tuduhan Benny Wenda tidak memiliki dasar.

"Dia tidak dapat menunjukkan bukti dari apa yang telah dia tuduh. Ini adalah gerakan Papua Merdeka yang membunuh warga sipil tak berdosa," ungkap Aidi seperti dimuat di laman viva.co.id.


Masalah HAM-kah? tanda tanya.

Disintegrasi adalah ancaman bagi sebuah negara kesatuan. Indonesia, dengan ragam budaya dan terdiri dari berbagai suku bangsa yang juga merupakan negara kesatuan, tentu harus menjaga keutuhan negaranya. Ancaman perpecahan (disintegrasi) dari wilayah-wilayah yang mengklaim tidak mendapatkan perhatian dalam menyatakan pendapat, berekpresi semakin hari semakin nampak. Mungkinkah Ibu Pertiwi kembali akan kehilangan anaknya?

Tidak dapat dipungkiri, kekayaan alam pulau Papua begitu melimpah. Namun, sebagian hasil pengelolaan kekayaan alam tersebut rupanya tidak dinikmati oleh orang-orang Papua. Tambang Emas terbesar di dunia (PT. Freeport) meski 51%  sahamnya telah dikuasai oleh Indonesia, tak tampak kegembiraan yang begitu nyata di mata masyarakat Papua. Tentu saja, karena sebagian besar karyawan di perusahaan tersebut bukan warga pribumi. Kesejahteraan masih samar-samar terlihat.

Masyarakat papua seperti yang disampaikan Benny Wenda, justru tidak mendapatkan hak dasar, yaitu kebebasan berbicara dan berkumpul. Padahal, isu tersebut tidak pantas ada di negara Demokrasi seperti Indonesia.  Mungkinkah isu lama ini akan diungkit kembali?

Banjir dan Taubat Ekologis



Hujan dengan intensitas tinggi dan berlangsung beberapa hari mengguyur sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan. Akibatnya beberapa kabupaten terdampak banjir cukup parah. Misalnya, Kabupaten Gowa, Maros, Pangkajene Kepulaun. Bahkan, Takalar, Jeneponto, Wajo, Soppeng, hingga Kota Makassar pun tak luput dari bencana tersebut. Sembari mendoakan warga yang menjadi korban di sana, mengirimkan bantuan sebisa kita, renungan kembali patut kita lakukan bersama.

Ya, bencana merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Sebagai manusia, kita tidak punya kuasa untuk menolak malapetaka apalagi meminta sekalipun. Bila percaya kepada Tuhan, kita akan mendapati diri kita sebagai makhluk yang lemah dan berusaha mengambil hikmah dari setiap kejadian ini. Mengingat-ingat apa yang selama ini telah kita lakukan terhadap alam. Boleh jadi, itu teguran atas apa yang telah kita lakukan.

Banjir adalah salah satu dari sekian banyak bencana yang pernah menimpa manusia. Banjir disebabkan aliran air yang berlebih merendam daratan. Sumbernya bisa dari air sungai atau air pasang (laut). Di beberapa kabupaten tadi, penyebabnya lebih banyak dari meluapnya aliran sungai besar seperti Sungai Jeneberang di Kabupaten Gowa. Jika ditelusuri, ada saja kaitannya dengan masalah ekosistem.

Seperti yang disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, banjir yang terjadi salah satunya karena menurunnya kualitas lingkungan di daerah hulu dan hilir, alih fungsi hutan di daerah dataran tinggi sehingga erosi dan sedimentasi meningkat. Selain itu, di sepanjang daerah aliran sungai, banyak tambang galian dan batuan yang memicu pendangkalan sungai.

Pengrusakan hutan  juga diyakini oleh Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah sebagai penyebabnya. Lewat jalur udara ketika meninjau lokasi terdampak banjir, Nurdin Abdullah menyampaikan bahwa lahan di lereng Sungai Saddang sudah tandus karena perladangan liar. Praktis, ketidakseimbangan ekosistem inilah yang mesti diatasi ke depannya. Ada sebab dan akibat dari suatu peristiwa, mestinya kita lebih banyak menaruh perhatian terhadap pemicu (sebab), bukan merenungi akibatnya.

Tak pernah terpikirkan sedetikpun oleh penulis untuk menggurui. Kesadaran terhadap pelestarian lingkungan adalah bahan renungan bersama. Menjaga alam dengan tidak mengekploitasi secara berlebihan bisa memperkecil kemungkinan terjadi bencana di masa-masa mendatang. Penulis berusaha pula bertaubat, taubat ekologis. Tidak mengulangi kebiasaan membuang sampah sembarangan, mengacaukan keseimbangan alam yang sudah diatur Sang Pencipta. Memelihara hutan sebagai sumber keanekaragaman hayati adalah sebuah keharusan bersama.



Penulis : Musdin Musakkir
Sumber gambar : tribunnews.com

Menyoal Rendahnya Minat Literasi Mahasiswa Enrekang



Saya mencoba menanggapi dingin soal mahasiswa Enrekang memiliki minat baca dan menulis yang dinilai minim, seperti mengiyakan bahwa hal ini memang fakta yang terbuka sejak lama. Pernyataan tersebut disampaikan pimpinan umum Suaramaspul di MataKita.co (10/1/2019), yang saya yakini punya niat baik untuk pengembangan litarasi di Kabupaten Enrekang ke depan. Namun, kenyataan akan nampak lebih menyedihkan bila kita tidak menaruh perhatian terhadap upaya pemecahannya.
Karena berkaitan dengan minat, bolehlah rasanya membahas lebih dulu soal pengertiannya, atau paling tidak hal yang terkait dengan minat. Ini perlu agar diperoleh pemahaman baru sebelum mencoba untuk sekedar menduga-duga. Minat menurut Sumadi Suryabrata (1988) adalah kecenderungan dalam diri individu untuk tertarik pada suatu objek atau menyenangi suatu objek. Dari sini, terdapat celah untuk dipahami bagaimana objek tersebut bisa dikaitkan dengan benda (buku). Sementara karakteristik minat menurut Bimo Walgito ada tiga, diantaranya; 1) menimbulkan sikap positif terhadap suatu objek, 2) adanya sesuatu yang menyenangkan yang timbul dari sesuatu objek itu, 3) mengandung suatu pengharapan yang menimbulkan keinginan atau gairah untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi minatnya. Untuk bagian ini, gambaran yang diperoleh lebih terang lagi, mahasiswa Enrekang tidak tertarik pada suatu objek yang bernama buku.
Kesimpulan sementara tadi mendapat anggukan dari data yang entah berapa kali telah dipaparkan, ‘dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 yang minat membaca’. Tentu saja dari sekian banyak orang yang “ogah” membaca itu terdapat mahasiswa di dalamnya. Rasanya sungguh memalukan berada di deretan objek survey tersebut.
Permasalahan yang berkembang terkait rendahnya minat dalam membaca dan menulis adalah karena membaca dan menulis belum dianggap sebagai bagian dari peran dan tugas mahasiswa. Padahal, untuk memperkuat peran mahasiswa sebagai pembelajar tentu butuh banyak membaca. Sementara dalam menyampaikan gagasan, salah satu caranya dengan jalan menulis. Selain itu, beralihnya media dari bentuk fisik ke digital juga menjadi penyebab yang sulit dihindari. Bahkan, media audio-visual lebih menarik untuk dinikmati ketimbang membuka lembaran-lembaran buku.
Memang mengajak mahasiswa membaca ibarat memberi makan orang lapar tapi tidak berselera menyantap makanan yang dihidangkan. Mahasiswa memang selalu lapar. Butuh asupan ide-ide dan gagasan. Dalam kehidupan kampus, beragam menu tersedia. Aroma teori-teori, hipotesis-hipotesis dan karya ilmiah menggugah selera. Bila nafsu makan berkurang, butuh sedikit upaya untuk menambah cita rasa masakan. Tentu saja, paparan ini bertujuan agar mahasiswa tidak hanya bisa dikenyangkan dengan “makanan otak” tadi tetapi bisa membuat masakan sendiri dengan rasa yang berbeda dan lezat (menulis).
Beruntung ditengah minimnya kesadaran ber-literasi mahasiswa Enrekang, masih banyak pihak yang menaruh perhatian dan mencoba tetap memberikan sumbangsih pemikiran. Harapan itu ada ditandai dengan upaya-upaya pemasyarakatan minat baca oleh komunitas-komunitas yang peduli terhadap generasi Enrekang. Pemerintah Enrekang melalui Dinas Perpustakaan dan Kearsipan terus berinovasi agar lebih banyak lagi yang melek baca dan menjadikan ruang perpustakaan sebagai wahana intelektual. Media online pun mulai mengambil peran dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa atau pelajar yang ingin menuangkan gagasannya lewat tulisan. Untuk beberapa usaha tersebut, butuh kesabaran dan kerjasama dari semua pihak. Semoga hasilnya menggembirakan!

Karena Berpolitik Ada Waktu dan Tempatnya



Tahun 2018 adalah tahun politik. Hampir semua orang ikut membahas soal politik. Di warung-warung kopi, kantor-kantor, pertokoan, pasar-pasar sampai di tempat ibadah, obrolan selalu saja dibumbui isu-isu politik. Namun, ada yang menarik ketika perbincangan mengenai politik juga hadir di institusi dan lembaga pendidikan, salah satunya adalah kampus. Tabukah berbicara politik di tempat tersebut? 

Dunia akademik memang dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan pendidikan, penelitian, pengkajian serta kaya akan bahan-bahan diskusi, termasuk dunia politik. Sederhananya, berbicara politik dan mempelajari politik di lingkungan kampus sah-sah saja. Akan tetapi, ketika dikaitkan pada persoalan politik praktis, tentu akan lain ceritanya. Lingkungan pendidikan mulai dari sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi mestinya steril dari kegiatan politik praktis (kampanya transaksional). Hal tersebut dipertegas dalam pasal 69 Ayat (1), huruf h Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Disebutkan dalam beleid tersebut bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu tidak dibolehkan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk kegiatan kampanye. 

Bukankah kampus adalah tempat pendidikan? Termasuk penggunaan fasilitas yang dimaksud adalah memanfaatkan jabatan, status, ataupun fungsi sebagai pengajar untuk melakukan kegiatan kampanye. Padahal, tempat tersebut (kampus) harus bersih dari kegiatan-kegiatan yang bernuansa politis. Apapun alasannya, sangat tidak etis memanfaatkan fasilitas pendidikan untuk mengincar sebuah jabatan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah mahasiswa memang tidak boleh berpolitik dan lebih baik menyibukkan diri dalam pendidikan dan penelitian? 

Menurut hemat penulis, Sebenarnya, saat masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), maka keputusan politik mahasiswa pun dengan sendirinya terakomodir di bilik suara ketika tiba saat pemilihan langsung dilakukan. Namun, kampus bukan lembaga penyelenggara Pemilu, dan tentu saja mahasiswa bukan objek politik. Suara mahasiswa bukan barang yang bisa seenaknya diperjualbelikan. Akan lebih bijak jikalau peserta pemilu mengadakan dialog terbuka di luar kampus agar gagasan mengenai program pembangunan dalam rangka mensejahterakan rakyat didengar dan didukung oleh mahasiswa. Tentu sebagai agen perubahan dan dengan fungsi kontrol sosialnya, mahasiswa akan mendukung seratus persen. 

(Musdin Musakkir) 
sumber gambar : https://www.bengkuluinteraktif.com/independen-kampus-jangan-terseret-pusaran-politik-praktis

Memerdekakan Diri Sendiri


Merdeka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya “Bebas  dari perhambaan atau penjajahan.” Tidak terikat, tidak bergantung pada pihak tertentu. Merdeka pun memiliki segala bentuk definisinya sendiri pada masing-masing orang yang hidup di negeri ini. Merdeka menurut para pahlawan yang telah gugur mendahului kita, merdeka menurut mahasiswa dan aktivis zaman orde baru, merdeka menurut para petani, pedagang, pegawai negeri, anak-anak usia sekolah, merdeka menurut pers, atau merdeka menurut para penjual umbul-umbul 17 Agustusa-an yang kini menjamur di pinggir jalan. 

Merdeka dari perhambaan dan penjajahan telah dilalui dengan segenap jiwa dan raga, dengan mengorbankan darah dan nyawa para pejuang. Bagi kebanyakan orang, itulah merdeka dalam pengertian leksikal.

Merdeka dalam arti tidak terikat adalah bebas dari belenggu yang kadang memaksa kita melakukan segala cara untuk dapat hidup aman dan nyaman. Tidak ada lagi ketergantungan pada orang lain. Tidak ada lagi hutang sana-sini. Tidak ada lagi rentenir atau tengkulak yang mencekik leher seperti momen krisis moneter lalu. Tapi, sekali lagi merdeka menurut mereka tidak pernah sama. Mereka merasakan merdeka menurut dunianya sendiri. Menurut profesinya dan pekerjaan sendiri.

Merdeka menurut para mahasiswa di rezim orde baru adalah menyuarakan suara rakyat. Aspirasi tanpa kompromi. Tuntutan dipenuhi atau mati. Merdeka ketika itu sama artinya dengan  reformasi. Merdeka ala akademisi yang penuh idelisme menantang para penguasa lepaskan jabatan, buang jauh pelaku korupsi, lemparkan sistem kolusi, cabut akar-akar nepotisme. 
                
Petani menyebut kata merdeka sebagai kemakmuran dan kesejahteraan. Harga pangan dan hasil cocok tanam melimpah dan punya harga. Pedagang bisa mengira keuntungan dan laba yang tetap membuat dapur menyala. Bisa menyekolahkan anak-anak sampai sarjana, bahkan hingga berkeluarga. Tak ada lagi duka yang dibagi kepada tetangga, bertemu sapa pun dibalut senyum dan tawa. Itulah kemerdekaan menurut paham awam dan kesederhanaannya.
                
Guru yang jadi Pegawai Negeri, punya gaji tinggi dan memadai tanpa kehilangan harga diri “diinjak” murid nakal, bandel, kurang ajar, pengadu, labil, punya orang tua tapi tak banyak menasehati hingga anaknya berani memaki-maki dan tak tahu diri, guru sendiri dilaporkan ke polisi. Mengajar dengan gaya dan peran sendiri, dipadukan dengan kompetensi. Guru merdeka mencetak  abdi bangsa, calon-calon kepala Negara.
                
Anak-anak berangkat ke sekolah tanpa takut ketinggalan kereta, gembira karena uang jajan selalu dibagi rata. Tak perlu lagi terlambat karena membantu ibu atau bapaknya menyiapkan dagangan di pagi-pagi buta. Buku paket, perlengkapan sekolah tersedia, tak ada lagi buku fotocopy yang sulit dibaca karena cetakannya hitam putih tak berwarna. Ah, begitu banyak arti merdeka bagi anaka-anak sekolah.
                
Sedang menurut pers, merdeka krang lebih berarti: bebas menyuarakan pesan-pesan dan kegelisahan rakyat, bebas beropini, berargumentasi di ruang media tanpa intimidasi. Teknologi informasi yang semakin canggih dan konektivitas tiada batas. Tak ada lagi tekanan. Kritikan terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada khalayak luas mudah saja menjadi headline di halaman utama koran-koran dan media massa. Wartawan  berekspresi dalam bingkai demokrasi, bebas mengkritik asal tak melanggar kode etik.
                
Sementara bagi penjual umbul-umbul di momen 17 Agustus-an, merdeka memiliki arti segala-galanya. Merawat tradisi perayaan Agustusa-an dengan orang-orang yang peduli pada makna kemerdekaan bangsa, turut ikut serta memeriahkannya, mengingatkan kepada orang-orang bahwa kemeriahan perlu dibalut dengan nasionalisme, berapapun jualan yang laku, tetap akan disyukuri. Baginya perlu untuk tetap berdiri di kaki sendiri, tidak meminta-minta yang menurutnya malah merendahkan diri.

Mereka semua dan diri kita sendiri harus tahu bahwa untuk membangun negeri dengan semangat proklamasi, perlu upaya keras, bekerja halal dan niat yang bersih, dan yang terpenting, harus dimulai sejak dini, memerdekakan diri sendiri tidak harus menunggu nanti sampai orang-orang lebih dulu memulai. 


Mencontek Itu Perlu?

Mencontek, Sumber: http://www.hipwee.com

Seperti biasa, menjelang berakhirnya semester genap, semua mahasiswa sibuk menyiapkan diri menghadapi UAS. Konon, siapapun mahasiswa akan merasakan tekanan-tekanan khas UAS. Wajar saja, bagi anda yang pernah menjadi peserta didik atau mahasiswa, setiap soal yang diberikan pengawas, akan selalu ada kalimat penutup “Stop Menyontek!” Ditambah lagi, bagi yang sedang tidak beruntung, akan kebagian pengawas yang sok disiplin. Mencontek (baca:meniru-KBBI) hampir saja dikategorikan sebagai tindakan tak terpuji di dunia akademisi. Padahal, tidaklah demikian.
Bagi mereka yang sejak dini sudah tertanam nilai-nilai kejujuran, tentu akan taat aturan. Tapi bagi saya, atau mungkin bagi sebagian yang hirau pada tata tertib ujian, segala jurus jitu telah disiapkan dengan matang. Modusnya, silakan bayangkan sendiri.
Kita mulai kontroversinya. Mencontek itu perlu, bahkan diharuskan. Alasannya?
Lihat saja contohnya. Semua buku-buku pelajaran sejak kita masih SD dulu, merujuk pada buku-buku karya pakar di bidang ilmu masing-masing. Singkatnya, hafalan dan tugas yang diberikan guru, kecuali karangan bebas, berasal dari buah pikiran orang lain. Lantas, apakah fungsi evaluasi tidak diperlukan lagi?
Memang ujian diberlakukan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana kemampuan para peserta didik dalam menalar dan memahami materi pelajaran selama ini. Ukurannya tentu saja pada nilai akhir yang diperoleh dari berapa banyak soal yang terjawab dengan benar. Tapi sekali lagi, kebanyakan soal yang saya dapat sejak duduk di bangku SD hingga kuliah, menitik-beratkan pada hafalan dan teori pakar semata. Jarang saya temui soal yang menuntut saya untuk mengungkapkan gagasan orisinil. Walaupun saya sepakat harus ada landasan teorinya. Ini yang tidak disadari oleh beberapa perumus soal. Bukankah ide, gagasan dan pendapat kita juga perlu diberikan ruang? Buat apa belajar jika pada akhirnya hanya menghafal seluruh kalimat dan teori-teori para pakar tanpa sedikitpun diubah dan cenderung dimakan mentah-mentah?
Dan lagi, semua karya tulis ilmiah, serupa makalah ataupun jurnal, juga skripsi, pasti harus memuat referensi. Kita tahu ada daftar pustaka yang memberikan pembaca petunjuk dimana teori-teori itu ditemukan.
Maka, menurut hemat saya, sebaiknya soal-soal dari semua jenjang pendidikan harus memberikan porsi yang besar terhadap gagasan peserta didik atau mahasiswa. Bukan berarti saya mengabaikan dan menolak teori para pakar dari semua disiplin ilmu. Tapi, teori itu butuh dukungan. Dan gagasan kitalah yang membuat ke-ilmiah-an teori-teori itu semakin kuat dan teruji.
Imbangi Kebiasaan mencontek dengan rajin mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi.
Dari tulisan saya di atas, terkesan saya mendukung tindakan mencontek. Tapi sebenarnya, tidaklah demikian. Saya justru memberikan opini dan saran agar para pendidik memahami apa yang dibutuhkan oleh peserta didik. Itu tidak lain agar metode pengajaran sedapat mungkin bersifat student learning center, berpusat pada siswa. John Dewey, penggagas active learning berpandangan bahwa anak-anak tidak boleh hanya duduk menerima materi. Mereka diharapkan dapat dengan mudah menyelesaikan permasalahannya secara reflektif kapanpun, dimanapun tanpa kaku terhadap teori atau pengetahuan akademiknya saja.
Untuk mengurangi kebiasaan mencontek (menguatkan pengetahuan mengenai teori-teori), bisa dilakukan dengan melibatkan peserta didik dalam kegiatan-kegiatan diskusi. Ini sangat berguna memberikan mereka kesempatan menyampaikan ide dan pandangan terhadap teori-teori yang ada. Dengan begitu, landasan berpikir akan kuat dan tidak terkesan omong kosong.
Jadi, apakah mencontek itu perlu?

Ayo Kita Korupsi !


















Mengapa kita harus korupsi? Apakah semua orang bangga bisa korupsi?


              
               "Ayo Kita Korupsi!"

Ayo kita korupsi!
Sebab kekayaan negeri sudah bebas dicuri,
lalu bawa lari ke luar negeri.

Ayo kita korupsi!
sebab tanah yang kita miliki
bukan milik kita lagi.

Ayo kita korupsi!
Sebab para koruptor di negeri ini,
punya bilik mewah di dalam bui.

Ayo kita korupsi!
Sebab katanya, takkan pernah ada hukuman mati.

Ayo kita korupsi!
Sebab hakim dan jaksa yang takut dosa, sudah dikebiri.

Ayo kita korupsi!
Sebab para pencuri tak malu lagi tampil di televisi.

Ayo kita korupsi!
Sebab harga diri kini, lebih murah dari harga sekotak nasi.

Ayo kita korupsi!
Sebab BBM dan tarif listrik sudah bosan kena subsidi.

Ayo kita korupsi!
Sebab Ibu Pertiwi sudah jadi ibu tiri.

Enrekang, 23 Juli 2017
Musdin Musakkir


******


Sekilas puisi di atas nampak provokatif. Tapi, jika ada kejahatan luar biasa yang bisa membuat pelakunya justru mendapatkan perlakuan istimewa dan tetap tersenyum manis di layar tv, itu pasti korupsi. Maka, tidaklah mengherankan jika semua orang berebut kursi hanya untuk korupsi. Apa yang sesungguhnya terjadi?

Saya 100% tidak sepakat dengan tindakan korupsi. Puisi di atas hanyalah menginginkan siapapun yang terlibat korupsi bisa sadar diri. Jelas korupsi adalah kejahatan luar biasa dan akan terus dilakukan apabila para pelakunya selalu dimanja. Ditambah lagi, banyak penegak hukum di negeri ini mulai takut berurusan dengan pencuri kelas mercy.

Pernah saya membaca artikel seorang blogger yang kritis  menagih implementasi pasal 1 UUD RI 1945 yang berbunyi " Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara". Ia secara tersirat menyatakan jangan-jangan negara benar-benar telah sengaja memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar sehingga bukannya mereka berjuang menjauhi garis kemiskinan, malah dipaksa setia berada jauh di bawah garis kemiskinannya. Kemiskinan bisa dijadikan sebuah proyek berkedok sosial.

Demikianlah hal tersebut saya komparasikan juga. Jangan-jangan para koruptor sengaja dipelihara oleh negara agar para penegak hukum yang kurang kerjaan, bisa terlihat sibuk dan saling mengklaim prestasi? Tidak, tidak semua penegak hukum seperti itu karena mereka yang takut berbuat dosa, sangat mudah terseleksi dan dieliminasi. Paling beruntung kalau hanya terkena mutasi. Kekhawatiran kita jangan sampai menjadi kenyataan. Suatu saat, semua orang akan bangga melakukan tindakan korupsi seperti sekedar uji nyali karena hukum pun mudah berkompromi.

Tak banyak yang bisa saya ulas di blog ini. Hanya saja, tetap saya merasa perlu untuk mengklarifikasi bahwa saya tidak menganjurkan untuk berbuat korupsi. Harapan saya, korupsi benar-benar bisa diangkat dan dicabut dari akar-akarnya. 






Hari Pertama Shakila



Saya senang dan menyambut baik anjuran Menteri Pendidikan agar di hari pertama masuk sekolah, orang tua bisa mengantarkan anaknya ke sekolah. Seperti hari ini, saya mengambil alih tugas sepupu yang bekerja di luar kota untuk mendampingi anaknya ke sekolah di hari pertamanya. Kebetulan keponakan saya itu mendaftar di SD di desa saya, jadi lumayan dekat. Ada rasa haru dan bahagia bisa mengantar Shakila, si kecil calon generasi penerus bangsa. Meski saat masuk kelasnya, ia tampak malu-malu dan kaku.
Momen ini mengingatkan saya akan peristiwa yang hampir sama 20-an tahun yang lalu. Ketika itu, saya pun seperti mereka, bahkan lebih canggung. Bertemu teman baru dengan seragam baru, menyaksikan kegaduhan khas anak-anak, dan banyak lagi. Intinya, saya memaknai betul apa yang dianjurkan Pak Menteri tadi.
Sebagai seorang mahasiswa, saya belum berkeluarga. Tapi bukan berarti saya terhalang untuk mengambil hikmah mengantar anak SD di hari pertama. Mengapa? Karena dampak psikologis bertemu dan berada di lingkungan baru begitu terasa. Di hari ini saja, begitu banyak kejadian tak terduga yang tersaji di kelas baru. Tingkah anak laki-laki yang berebut meja dan kursi, berlari-lari dan saling mengejar, ada yang sakit, sedih tidak diantar orang tua, dan banyak lagi ekspresi lucu dari mereka. Melihat kejadian-kejadian itu, saya hanya tersenyum.
Sayang, tidak semua anak-anak mungil itu punya kesempatan yang sama seperti Shakila. Kesibukan para orang tua di pagi hari dengan segudang aktivitas membuat anak mereka lebih memilih duduk berdiam diri di kelas. Meski tahu itu adalah momen spesial bagi sang anak, jarang diantara mereka -para orangtua- menyempatkan hadir mendukung dan memberikan rasa tenang bagi anak-anaknya apalagi di hari pertama masuk sekolah.
Saya khawatir, ketidakhadiran orang tua murid akan mengurangi kepercayaan diri anak-anaknya. Ditambah lagi, persoalan bullying masih marak terjadi. Beberapa anak penyandang disabilitas perlu dikuatkan hatinya untuk bisa menerima dirinya di lingkungan pergaulan dan pendidikan. Sering, tanpa penguatan dan dukungan orang terdekat, para anak penyandang disabilitas tersebut mengalami tindakan yang tidak seharusnya ia terima, misal dihina dan dikucilkan.

Sebelum meninggalkan Shakila dan membiarkan ia berbaur dengan kenalan barunya, saya sedikit memberikan bimbingan perihal tindakan apa yang harus dilakukan sebagai seorang murid/ peserta didik. Misalnya, jika ada keperluan ke toilet, terlebih dahulu meminta izin kepada guru yang sedang mengajar. Saat ada teman yang belum ia kenal lalu usil mengganggu, jangan sungkan melapor ke gurunya.  Kalau merasa kesehatannya tidak memungkinkan untuk belajar efektif, boleh meminta dengan sopan agar bisa dipulangkan lebih awal.
Saya percaya banyak orang tua di luar sana yang lebih memahami dan mengerti bagaimana seharusnya memberi penguatan maupun dukungan kepada anak-anaknya di hari pertama masuk sekolah. Untuk itu, saya berharap di tahun-tahun berikutnya, saya bisa melihat kelas baru di jam tujuh pagi (di hari pertama tahun ajaran baru) terisi penuh oleh anak dan orang tuanya.

Bawang Disayang, Petani Malang.

Ilustrasi panen bawang merah. Sumber: www.google.com


Sebagian besar masyarakat Enrekang bekerja sebagai petani. Tanaman yang merupakan komoditi andalan mereka adalah adalah bawang merah. Tanaman ini bisa tumbuh dengan subur dan dibudidayakan sepanjang tahun. Masa panen pun juga relatif singkat, sekitar 2 bulan atau kurang lebih 60 hari.

Dalam skala nasional, Kabupaten Enrekang sangat diperhitungkan sebagai salah satu sentra produksi bawang merah. Hasil produksinya bisa mencapai puluhan ribu ton setiap tahunnya. Dengan hasil panen sebesar itu, para petani bawang di Enrekang bisa dibilang cukup sejahtera. Setidaknya bagi mereka yang punya modal cukup mengingat untuk budidaya bawang sendiri, harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Meski keuntungannya pun sangat menjanjikan.

Namun demikian, terkadang hasil panen bawang yang melimpah tidak berdampak baik pada kestabilan  harga di pasar. Nilai jualnya cenderung fluktuatif dan bergantung pada musim. Ditambah lagi dengan masa panen yang juga biasanya serentak dengan daerah lain membuat banyak petani mengalami dilema.

Apa yang dirasakan dan dikhawatirkan oleh para petani bawang tersebut sangatlah wajar. Dalam prinsip ekonomi klasik, jumlah produksi akan mempengaruhi tingkat kebutuhan bahan pokok atau permintaan pasar. Singkatnya, harga bawang merah akan turun drastis karena kewalahan mengimbangi laju produksi. Akibatnya, petani harus berhadapan dan menatap kuitansi penjualan dengan wajah lesu.

Untuk musim panen tahun ini saja, nilai jual bawang merah masih stagnan, malah pada akhir bulan April 2017 lalu, harga bawang kembali terjun bebas. Bahkan beberapa daerah mencatat rekor harga terendah tahun ini yang berada pada level Rp 10.000/Kg ke bawah. Hal ini dipicu oleh meningkatnya produksi bawang merah di daerah lainnya di Indonesia.

Untuk menyiasati persoalan ini, pemerintah Kabupaten Enrekang melalui Dinas Pertanian rencananya akan berkoordinasi dengan pihak Bulog agar turun tangan mengendalikan harga. Demikian seperti penulis kutip di laman tribunenrekang.com

Kembali pada persoalan yang dihadapi para petani bawang. Memang tidak sedikit yang telah menikmati hasil jerih payah bertani bawang. Keuntungan yang diperoleh digunakan untuk membangun rumah dan membeli alat alat kebutuhan rumah tangga, termasuk bahan pokok. Selebihnya, dipakai sebagai modal untuk menghadapi musim tanam selanjutnya. Karena bawang juga, banyak Orang Kaya Baru (OKB) di Enrekang yang awalnya adalah petani dari kalangan masyarakat bawah.

Ironisnya, ketika harga bawang tidak bersahabat, banyak pula masyarakat yang terlilit hutang karena tak sanggup mengembalikan pinjaman yang dipakai sebagai modal. Dalam kasus ini, antara sesama petani sendiri akan berlaku kesenjangan. Petani kaya dan berduit lebih akan tetap sejahtera, minimal bertahan, sementara para petani lainnya merugi dan putus asa memikirkan cara menyambung hidup.

Demikianlah, bawang merah ibarat lilin yang menerangi gelap nasib para petani tetapi mampu membakar seisi rumah (kehidupan/kemakmuran) dalam waktu sekejap saja. Sungguh menyedihkan, terkadang. Bawang disayang, petani malang.

(Musdin)








Kampusku Digoyang Parpol

Dalam diam dan letih sepanjang hari beraktifitas, saya sempat berkelakar bahwa saya agak rabun jauh. Dengan kacamata yang terasa berat di hidung, kadang-kadang repot dibuatnya, saya masih bisa membedakan mana hitam dan putih. Masih jelas antara merah dan biru. Bahkan, sungguh bisa menunjuk saat ditanya mana warna ungu dan mana yang kuning*.

Adakah masalah dengan warna sehingga saya menyinggungnya di awal? Tentu saja. Belum lama saya terusik meski berharap bukan hanya saya saja mahasiswa yang merasa kecewa. Awal bulan April kemarin, kampus saya mengadakan kuliah umum di sela-sela jadwal kuliah. Seperti biasa, setiap kegiatan seperti itu pemateri yang diundang adalah mereka yang kompeten di bidangnya. Tidak salah, karena pemateri tersebut sangat memiliki kualifikasi dan kualitas skala nasional. Beliau adalah tokoh daerah sekaligus tokoh nasional.

Lalu apa yang membuat saya sampai harus gusar? Tentu bukan pada pemateri dan tema yang diangkat tetapi sikap pimpinan kampus yang seperti “ mencari muka” dalam situasi seperti ini. Bahkan dengan bangga, spanduk yang terpampang di podium menyertakan logo salah satu partai politik yang tidak lain adalah partai pengusung pemateri selaku bakal calon gubernur Sulawesi Selatan.

Tentu hal inilah yang membuat saya tidak sepakat dan memilih memboikot acara tersebut. Di grup kampus, saya menyampaikan kritikan sekaligus keberatan dengan hal tersebut. Bukan grup namanya jika tidak ada yang menimpali atau berkomentar. Salah satunya membuat saya tidak habis pikir. Seorang yang sudah jauh keliling menimba ilmu dan banyak makan asam garam di lingkungan kampus serta organisasi dengan serta merta menanggapi. Menyarankan saya agar menkaji lebih dulu apa yang saya tulis plus sindiran bahwa apa yang saya sampaikan di grup kampus tersebut tidak punya fondasi. Statement saya seolah-olah hanya luapan emosi  mahasiswa labil yang hanya bisa protes dan sok idealis.

Melalui hak jawab saya tanpa berupaya merendahkan siapapun, saya membatin. Mengenang kembali apa yang pernah saya alami beberapa tahun silam. Tepatnya, pada 2014 lalu saat pilpres ( pemilihan presiden,-red) digelar. Saya termasuk salah satu anggota KPPS ( Kelompok Panitia Pemungutan Suara) yang meski sedikit, harus punya pengetahuan mengenai aturan dan tata tertib pemilu.

Penjelasan dari UU Pemilu No. 8 Tahun 2012 ( pasal 86 ayat 1 poin h) menjadi pijakan sekaligus fondasi yang saya gunakan atas tuduhan tak berdasar sang komentator. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa dalam melakukan kampanye, dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Selain itu, ada larangan terhadap partai politik melakukan semua kegiatan di lingkungan kampus. Karena sangat jelas, pemateri bukan hanya hadir sebagai pribadi dan tokoh nasional yang konsen pada pendidikan, melainkan datang sebagai bakal calon yang diusung lengkap dengan embel-embel/logo di spanduk serta iring-iringan tim sukses atau petugas partai.

Menyadari kampus adalah lingkungan pendidikan dengan nuansa akademis yang harus tetap dijaga, itulah alasan saya mengeluarkan statement tersebut. Lepas dari segala kepentingan yang ada atau faktor ke-tidak-sengaja-an. Saya sebagai mahasiswa, menikmati jiwa yang bebas dan merdeka. Saya lebih baik ditindas secara fisik, ketimbang harus ditindas dengan kesempitan pemikiran. Harus tetap berpikir normal tapi kerap berpikir irrasional dalam situasi yang juga tidak normal.

Mahasiswa dan Konsistensi Gerakan


Mahasiswa diidentikkan sebagai agen perubahan ( Agent of Change). Bahkan, tidak sedikit juga yang berekspektasi bahwa mereka nantinya akan menjadi pemimpin terhadap perubahan itu sendiri ( Leader of Cange). Perubahan dalam segala aspek kehidupan. Karenanya, di perguruan tinggi, mereka ditempa untuk mumpuni dalam pendidikan, konsisten melakukan penelitian, serta siap berkarya dan mengabdi kepada masyarakat. Kita mengenal tiga bentuk kegiatan tersebut sebagai trilogi perguruan tinggi.
Dengan peran yang disandang itulah, mahasiswa secara terbuka dan sadar mengakui dirinya sebagai penyambung lidah rakyat. Maka apapun gerakan dan tindak tanduknya, mesti senantiasa dipersembahkan untuk kepentingan rakyat.

Namun, dengan kenyataan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat, kaum intelektual dan akademis -mahasiswa- mengalami kemunduran perlahan-lahan dalam pergerakannya. Panas dingin demokrasi mengikis idealisme mahasiswa. Meski tidak sampai seluruhnya, tapi tetap membuat harapan jadi surut. Langkahnya kalah cepat dari tuntutan zaman yang kian menghimpit.

Sejak keberhasilan mahasiswa menumbangkan rezim orde baru tahun 1998, hingga kini masih belum ada lagi gerakan yang kembali menegaskan bahwa mahasiswa konsisten dan peduli menyuarakan keluhan dan uneg-uneg rakyat. Nyatanya, dalam kurun waktu belasan tahun tersebut, kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya berada pada jalur yang monoton, tidak berubah signifikan dan membosankan. Dan, pada aspek ekonomilah hal tersebut lebih banyak mengharapkan kekuatan gerakan mahasiswa untuk tampil kembali.

Ketidakstabilan ekonomi sangat terasa dampaknya terutama pada kenaikan harga bahan pokok. Biaya-biaya pelayanan kesehatan justru meningkat plus sistem layanan yang amburadul. Tentu saja, kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian melebar.
Sederet persoalan kehidupan terkini di atas, harusnya mengantarkan kita pada upaya menagih konsistensi gerakan mahasiswa.

Pertanyaannya adalah mengapa harus berharap banyak kepada mahasiswa? Bukankah lebih baik jika to the point saja ke wakil rakyat yang dengan sumringah telah banyak berjanji kepada para pemilih yang mencoblos tiap lima tahun di bilik suara? Atau kepada para pemimpin di daerah dan pusat yang dengan bangga meladeni debat kandidat pasangan calon dari kubu lain? Jawaban dari itu semua kembali kepada peran dan posisi mahasiswa itu sendiri. Sebagai akademisi, yang nyaris suci dan dengan idealisme tinggi, merekalah yang masih bisa mengenggam mimpi kita, para rakyat jelata.

Tapi, gerakan mahasiswa sebagian sudah tidak lagi konsisten seperti awalnya,
memberikan tamparan bagi rakyat dan tentu saja pesismisme kian berlarut. Ada pemikiran lain yang mencoba menggerogoti idealisme mereka. Keikhlasan membela hak rakyat dengan jalan audiensi, diskusi, hingga serbuan kritik terhadap kebijakan yang semena-mena menjadi melemah, tak berkutik. Memang sangat disayangkan jika pragmatisme benar-benar bersemayam secara sembunyi-sembunyi di benak mahasiswa. Membuat mereka begitu mudah untuk dirayu sehingga lebih memilih kepentingan sesaat. Menjadikan gerakannya melambat dan serba memakai isyarat. Isyarat konglomerat, pejabat atau bahkan dari para penjilat negara sekaligus sebagai jawara pengkhianat.

Hipotesis yang bisa diumbar adalah sudah sedemikian kerasnyakah kehidupan untuk melanjutkan pendidikan atau boleh jadi ingin cepat-cepat mendapatkan gelar? Jika benar, hal ini akan membuat mahasiswa kehabisan akal dan cenderung serba transaksional. Peluang tentu saja sangat dekat dengan uang. Mudah-mudahan – sekali lagi- tidak mengurung seluruh mahaasiswa.

Masalah lain yang bisa jadi momok bagi rakyat atas harapan mereka kepada mahasiswa adalah apatisme dalam pemikiran dan tindakan. Apatisme bagi kaum akademisi berpotensi mengikis sisi humanisme dalam nalar dan gerakan murni mahasiswa. Tidak ada lagi kepedulian secara ideologi bahkan secara sosial kepada rakyat. Mungkin saja pemikiran seperti itu akan lebih menyakitkan hati ketimbang janji-janji politis pemerintah yang jauh dari nyata.

Pada akhirnya, mahasiswa perlu menyadari betapa pentingnya ia dipercaya menjadi agen oleh rakyat. Dan tentu, gerakan bermartabatlah yang bisa disodorkan, buka gerakan merusak, tetapi bukan juga gerakan yang mudah mundur dalam sekali gertak. Karena, selain berperan sebagai agen perubahan sebagaimana harapan dan ekspektasi kita di awal, mahasiswa kelak dan pasti akan menapaki peran dan tugas yang lebih berat lagi, mereka akan menjadi pemimpin perubahan itu sendiri. Insha Allah!

Aktivis Literasi

Menjadi Aktivis merupakan suatu hal yang menyenangkan dan penuh dengan perjuangan. Hal ini karena tidak semua orang bisa menjadi aktivis. Dibutuhkan tekad yang kuat, nyali yang besar dan semangat juang yang tinggi untuk menasbihkan diri menjadi seorang aktivis.

Kadang pula, untuk menjadi aktivis, seorang harus tahan uji dan siap sedia menghadapi hal-hal yang tidak terduga sebagai bagian dari tes mental.

Orang, kalau sudah tahan ujian biasanya dia tidak lagi bisa dikalahkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar. Ia punya komitmen untuk mempertahankan ideologinya. Ia akan berusaha semaksimal mungkin melakukan apa yang  diperjuangkan dan yang akan disampaikan kepada masyarakat. Singkatnya, aktivis punya misi khusus bagaimana membawa suara atau pendapatnya hingga bisa terwujud.

Sedangkan literasi mengarah kepada kegiatan-kegiatan baca tulis yang tidak hanya sepintas saja tetapi perlu konsistensi. Orang yang suka membaca sekadarnya saja belum layak dikatakan sebagai pegiat literasi. 

Nah, kaitannya dengan aktivis, banyak orang yang hanya memahami dalam arti sempit. Aktivis biasanya hanya dipahami sebagai orang yang memperjuangkan suara suara rakyat. 

Sedang maksud penulis di sini, aktivis memiliki arti yang sangat kompleks. Mencernanya tidak sebatas melihat persoalan yang ada di masyarakat lalu kemudian mengaitkannya dengan istilah aktivis. Penulis berpendapat bahwa semua segi atau dimensi kehidupan sangat membutuhkan peran aktivis. Walau sebenarnya secara tidak langsung memang sudah ada hal seperti itu ( aktivis) di seluruh bidang kehidupan, tetapi tidak dipahami bahwa itu pun sebenarnya bisa menjadi suatu yang ideologis.

Misalnya, aktivis di dunia literasi, ia tidak hanya memahami persoalan literasi dan seluk beluknya, literasi dengan segala manfaat dan pemanfaatannya, tetapi ia juga harus memperjuangkan segala apa yang menyangkut keberlangsungan literasi atau kegiatan baca tulis itu sendiri. 

Banyak orang di luar sana yang menyuruh atau menganjurkan untuk banyak membaca, tapi hanya sedikit yang memperjuangkan bagaimana keberlangsungan kegiatan literasi itu agar tetap ada dan membudaya. 

Seperti bagaimana memberdayakan anak-anak yang kurang minat baca tulisnya agar lebih senang meluangkan waktunya untuk mencicipi lembaran demi lembaran buku setiap harinya. Bagaimana mereka yang bahkan tidak memiliki buku  sebagai gudang ilmu, dapat dengan mudah membaca di setiap waktu, kapan dan dimanapun.

Intinya, aktivis literasi akan memperjuangkan bagaimana kehadiran literasi, dunia baca tulis agar tetap berdaya, tidak berubah menjadi kegiatan kegiatan momentum saja. Lebih dari itu, kegiatannya terus membumi dan nyata terlihat. Sehingga suatu saat akan ada peristiwa dimana seluruh lini, semua sudut-sudut terlihat orang sedang asyik dengan media bacaan sendiri. Tentu saja, bacaannya adalah  sesuatu yang bermanfaat.

Terlebih, untuk menjadi aktivis, harus bisa berjuang. Tahan uji, dan mentalnya harus terasah agar setiap  yang  diperjuangkan untuk generasi sadar baca akan terwujud.

Kita harap begitu adanya.

Sakit, sebuah pengakuan





Mungkin di dunia ini, tak ada orang yang tidak pernah menderita sakit. Baik itu sakit biasa, maupun sakit yang sudah tergolong parah. Berbagai carapun dilakukan agar mendapat kesembuhan.

Ya, namanya juga sakit, semua kesenangan maupun kenikmatan jasmaniah sudah tidak dirasakan lagi.
Aktivitas dan rutinitas terganggu. Banyak hal penting justru tertunda. Makan dan minum yang merupakan kebutuhan biologis menjadi kurang nikmat dan terasa hambar dan kurang berselera.

 Orang yang sakit pun berusaha berobat seadanya dengan bekal pengetahuan turun temurun ( herbal) ada juga yang mencoba mencari kesembuhan dengan memanfaatkan jasa tenaga kesehatan seperti dokter, bidan, mantri dan lain sebagainya. Dengan harapan tubuh yang sakit akan segera sehat kembali agar dapat melakukan berbagai aktivitas seperti biasanya.

Demikianlah sakit, kondisi yang mengharuskan kita mengakui bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam melakukan sesuatu. Mengakui diri kita tak bisa melakukan segala hal karena kemampuan ada batasnya. Tenaga ada habisnya. Mengakui bahwa kelemahan selalu melekat pada diri. Sekuat apapun kita, sekeras apapun kemauan kita.

Sakit adalah sebuah proses pengakuan diri bahwa manusia tunduk pada suatu ketetapan Tuhan mengenai kekuasaan dan kehendak. Mengajarkan kita untuk selalu menyadari akan kebesaran Tuhan. Mengajak kita untuk selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki oleh diri kita, apa yang bisa kita lakukan untuk hidup. Tidak menganggap diri serba bisa tanpa tahu batasan.

Lewat sakit, kita disadarkan untuk menyayangi, menjaga dan merawat diri sendiri agar selalu dapat menikmati ketenangan maupun kebahagiaan hidup. Sebab, kesehatan adalah anugrah yang harus selalu dijaga sebelum Tuhan sewaktu-waktu mengambilnya dan menggantinya dengan sakit.


Diskusi: Lakukan dengan Bijak dan Santun

Image source: www.google.com/image


Akhir-akhir ini, kita sering melihat dan menyaksikan orang-orang berdikusi mengenai hal-hal yang sedang hangat dibicarakan. Mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi serta permasalahan lain dalam kehidupan sehari-hari.

Sayangnya, diskusi yang dilakukan tidak jarang keluar dari konteks dan tema yang sedang dibahas. Apalagi, dengan hadirnya forum-forum diskusi di media sosial membuat siapa saja dapat ikut menanggapi dan berkomentar mengenai topik yang dibahas.

Diskusi publik yang hadir di media sosial sebenarnya sangat bermanfaat terutama untuk menampung opini serta saran-saran dari masyarakat. Namun, diskusi yang dilakukan harusnya juga bersifat ilmiah. Kritis boleh asal punya referensi dan bukti yang kuat.

Kalau tidak demikian, diskusi malah akan memanas dan penuh dengan emosi. Cacian, makian pun mewarnai jalannya diskusi. Kata-kata kasar kerap dilontarkan pihak yang merasa disudutkan untuk membalas lawan diskusi. Etika berkomunikasi seringkali diabaikan. Tidak ada lagi kesantunan dalam berkomunikasi.

Padahal, dimanapun dan apapun bentuk diskusi yang dilakukan, sebaiknya tetap menghormati dan menghargai lawan bicara. Kebebasan dalam mengemukakan pendapat adalah hak setiap orang, tapi harus juga dilakukan secara bermartabat.

Oleh karena itu, hendaknya kita selalu bijak dan mengedepankan moralitas. Berdikusi adalah suatu hal yang baik dan jika dilakukan dengan baik pula, tentu akan menghasilkan ide serta gagasan yang cemerlang. Bahkan, bisa jadi diskusi yang dilakukan akan menambah erat tali silaturrahim dan membuat orang lain akan senang bergabung serta mencari solusi bersama-sama.
(MM)








Kurang bahagia atau kurang bersyukur?



Kita sering menganggap bahwa ukuran kebahagiaan adalah jika semua kebutuhan kita terpenuhi. Semua yang kita inginkan tersedia. Bahkan terkadang semua hal yang berbau materi dan kemewahan menjadi ukuran kekayaan seseorang dalam pergaulan hidupnya di masyarakat.

Padahal, jika kita melihat realita yang ada, orang cenderung mengalami banyak permasalahan hidup akibat terlalu fokus dalam mengejar materi, sehingga, aspek kerohanian atau kekayaan dalam diri seringkali diabaikan.

Apakah salah jika kita bekerja untuk meraih kesuksesan dunia? Jawabannya tentu tidak. Tetapi apakah kita harus mengabaikan kebutuhan spiritual kita?

Ya, kebutuhan spiritual adalah salah satu kebutuhan akan ketenangan hidup dan merupakan salah satu kebutuhan yang harus dimiliki manusia agar dapat merasakan kebahagiaan. Sehingga, tidak hanya kebutuhan ini menjadi penyeimbang, tetapi bisa juga membantu seseorang memahami makna kehidupan.

Tentu bagi kita yang memiliki kedekatan dengan Tuhan atau aspek spiritual dan keagamaan lebih mudah merasakan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Dengan segala apa yang kita miliki, berapapun jumlahnya, tetap akan menjadikan kita bersyukur. Kita tidak lagi memandang bahwa menjadi kaya harus punya segala fasilitas yang mewah, uang dan harta yang melimpah. Bagi kita, sedikit banyaknya tergantung pada cara kita mensyukuri apa yang kita miliki.

Jadi, kita tidak sedang berada dalam kondisi tidak bahagia, karena bisa jadi kita hanya belum bersyukur dengan apa yang sudah kita miliki. Coba perhatikan, berapa banyak orang disekitar kita yang hidupnya jauh dari kemewahan materil, tapi mereka menikmati kehidupan dan kesederhanaan mereka. Itu karena mereka selalu mensyukuri apapun yang mereka miliki. Mereka justru memiliki kekayaan yang banyak orang tidak miliki. Itulah kekayaan spiritual!
(MM)

Mari Menulis


Image by: www.google.com

Menulis memang butuh kesabaran. Ketika kecil, saya sangat tertarik menulis segala hal yang membuat saya penasaran atau kesal. Ketika itu, buku diary begitu top dan hampir dimiliki oleh setiap murid yang tergolong kaya ketika itu. Dengan uang hasil kerja dan menabung yang saya sisihkan, saya pun berniat membeli sebuah buku diary. Model dan warna tidak jadi masalah. Toh, tetap saja namanya buku diary, sudah bisa menulis pengalaman dan curhat sehari hari itu sudah membuat hati senang bukan main.

 Dengan keluguan dan kepolosan masa kanak-kanak, saya mulai menulis segala apa yang terlintas di pikiran dan apa yang saya alami. Tidak mudah memang, karena kata-kata yang muncul dan tertuang tidak begitu efektif dan malah terkesan lucu. Amatiran ala anak-anak mulai menjangkiti tulisan itu, sehingga keadaan tersebut sampai juga pada saat menulis surat.

Perlu diketahui, untuk seumuran saya, ketika itu, surat menjadi hal yang mewah dan menjadi trend ketika itu. Saya pernah berpikir bahwa menulis buah pikiran dan menuangkan perasaan ke secarik kertas itu lumayan sulit. Harus menulis kata apa, pemakaian kalimat yang bagaimana, diksinya seperti apa. Sehingga tulisan-tulisan saya seperti tidak punya maksud dan tujuan. Tidak jelas apa yang ingin saya sampaikan. Saya tidak tahu dari mana mengambil suatu ide, mengolahnya menjadi bahan bacaan, karena tidak tahu. Yang paling sering ketika guru menyuruh kita menuliskan pengalaman saat liburan. Itulah kesempatan untuk mengarang.

Karena kejadian-kejadian yang dialami saat liburan justru hal-hal yang konyol, makin susahlah saya menulis secara efektif. Sampai saat saya menulis cerita ini, bingung harus mengatakan apa? Memang susah untuk menulis. Tapi tak ada salahnya untuk terus mencoba. Paling tidak tulisan ini sudah jadi saksi suatu hari nanti. Mari menulis! (MM).

Petasan, ledakan, ketakutan.



Ilustrasi Anak-anak bermain petasan. Sumber: www.google.com

Tidak terasa beberapa hari telah kita lalui di Bulan Ramadhan tahun ini. Berlomba-lomba dalam kebaikan, beribadah dan bersedekah yang lebih banyak dari hari-hari biasa di luar Bulan Ramadhan. Sejatinya, Bulan Ramadhan selalu menjadi  hal yang membahagiakan, menggembirakan, dan menyenangkan. Tahun ini, masihkah kita sebagai umat Islam melaksanakannya dengan nyaman dan penuh kedamaian?
Mungkin penulis dan sekaligus pembaca dapat menikmati ketenangan beribadah seperti ini di tahun-tahun yang telah lalu. Tapi hanya sebagian kecil yang masih bisa merasakannya di tahun ini. Seolah menjadi barang langka untuk bisa dimiliki. Petasan, ledakan, dan ketakutan telah mewarnai ibadah khusus kita di Bulan yang lebih baik dari seribu bulan ini.
Ya, bunyi petasan dimana-mana dan tak mengenal tempat ini begitu tidak asing di telinga kita. Kebanyakan mereka bahkan adalah anak-anak kecil yang hanya tahu bahwa barang seperti itu tidak lebih dari sekedar hiburan dan sama asyiknya dengan permainan tradisional lainnya. Mereka menjelma menjadi penebar teror yang siap memberikan rasa takut kepada siapa saja. Mereka hanya tahu bahwa ketika ledakan sudah terdengar, tidak ada kebahagiaan selain menikmati bunyi yang menggetarkan telinga mereka. Semakin keras suara ledakan petasan, semakin riang mereka tertawa.
Beda  dengan wanita yang sudah  tua renta, ibu-ibu  muda yang tengah menggendong bayinya, penderita lemah jantung, semakin keras ledakan petasan, semakin keras pula mereka menggerutu. Entah kemana mereka harus mencari ketenangan, toh, dimanapun kita berada, selalu saja ada bunyi petasan.
Petasan walaupun memiliki ledakan efek low explosive nyatanya tidak bisa menghindarkan ia sebagai benda yang dapat menimbulkan kecemasan dan kegelisahan orang-orang yang beribadah dan mereka yang tengah bersantai dari  rutinitas dan pekerjaan. Petasan kini mudah terdengar bahkan di sekitar masjid saat ceramah tarawih berlangsung.
Mereka mungkin saja tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya  tidak dibenarkan. Mereka menjelma menjadi pemberontak-pemberontak kecil yang cerdik dalam mengatur strategi. Bersembunyi dibalik asap ledakan dan hilang dari pengawasan orang tua. Membeli dengan harga murah kepada para pemasok petasan yang tidak bertanggungjawab.
Tidak ada lagi kenyamanan, ketenangan yang diimpikan ini oleh kita yang memimpikan kekhusyukan beribadah. Rasa kesal dan umpatan kecil sedikit menodai niat suci kita saat berpuasa. Lebih menyedihkan, ketakutan dan ketidaknyamanan ini diciptakan oleh anak-anak kita sendiri, dengan uang yang diberikan oleh tangan kita sendiri. Dengan kasih sayang yang kebablasan.
Dampaknya, anak-anak kita tidak lagi menjadi sosok yang menggemaskan. Mereka menjadi teroris-teroris kecil yang bisa memberikan rasa takut, panik, cemas, kesal, marah, jengkel, gusar.
Kita seolah merindukan Ramadhan beberapa tahun silam. Mendengar bedug anak-anak muda dan bocah yang membangunkan kita untuk makan sahur, atau bunyi kentongan yang lebih terdengar merdu walau hanya terbuat dari bambu. (MM).




Powered by Blogger.

Terpopuler

Kategori