Mencontek, Sumber: http://www.hipwee.com |
Seperti biasa, menjelang berakhirnya semester genap, semua mahasiswa sibuk menyiapkan diri menghadapi UAS. Konon, siapapun mahasiswa akan merasakan tekanan-tekanan khas UAS. Wajar saja, bagi anda yang pernah menjadi peserta didik atau mahasiswa, setiap soal yang diberikan pengawas, akan selalu ada kalimat penutup “Stop Menyontek!” Ditambah lagi, bagi yang sedang tidak beruntung, akan kebagian pengawas yang sok disiplin. Mencontek (baca:meniru-KBBI) hampir saja dikategorikan sebagai tindakan tak terpuji di dunia akademisi. Padahal, tidaklah demikian.
Bagi mereka yang sejak dini sudah tertanam nilai-nilai kejujuran, tentu akan taat aturan. Tapi bagi saya, atau mungkin bagi sebagian yang hirau pada tata tertib ujian, segala jurus jitu telah disiapkan dengan matang. Modusnya, silakan bayangkan sendiri.
Kita mulai kontroversinya. Mencontek itu perlu, bahkan diharuskan. Alasannya?
Lihat saja contohnya. Semua buku-buku pelajaran sejak kita masih SD dulu, merujuk pada buku-buku karya pakar di bidang ilmu masing-masing. Singkatnya, hafalan dan tugas yang diberikan guru, kecuali karangan bebas, berasal dari buah pikiran orang lain. Lantas, apakah fungsi evaluasi tidak diperlukan lagi?
Memang ujian diberlakukan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana kemampuan para peserta didik dalam menalar dan memahami materi pelajaran selama ini. Ukurannya tentu saja pada nilai akhir yang diperoleh dari berapa banyak soal yang terjawab dengan benar. Tapi sekali lagi, kebanyakan soal yang saya dapat sejak duduk di bangku SD hingga kuliah, menitik-beratkan pada hafalan dan teori pakar semata. Jarang saya temui soal yang menuntut saya untuk mengungkapkan gagasan orisinil. Walaupun saya sepakat harus ada landasan teorinya. Ini yang tidak disadari oleh beberapa perumus soal. Bukankah ide, gagasan dan pendapat kita juga perlu diberikan ruang? Buat apa belajar jika pada akhirnya hanya menghafal seluruh kalimat dan teori-teori para pakar tanpa sedikitpun diubah dan cenderung dimakan mentah-mentah?
Dan lagi, semua karya tulis ilmiah, serupa makalah ataupun jurnal, juga skripsi, pasti harus memuat referensi. Kita tahu ada daftar pustaka yang memberikan pembaca petunjuk dimana teori-teori itu ditemukan.
Maka, menurut hemat saya, sebaiknya soal-soal dari semua jenjang pendidikan harus memberikan porsi yang besar terhadap gagasan peserta didik atau mahasiswa. Bukan berarti saya mengabaikan dan menolak teori para pakar dari semua disiplin ilmu. Tapi, teori itu butuh dukungan. Dan gagasan kitalah yang membuat ke-ilmiah-an teori-teori itu semakin kuat dan teruji.
Imbangi Kebiasaan mencontek dengan rajin mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi.
Dari tulisan saya di atas, terkesan saya mendukung tindakan mencontek. Tapi sebenarnya, tidaklah demikian. Saya justru memberikan opini dan saran agar para pendidik memahami apa yang dibutuhkan oleh peserta didik. Itu tidak lain agar metode pengajaran sedapat mungkin bersifat student learning center, berpusat pada siswa. John Dewey, penggagas active learning berpandangan bahwa anak-anak tidak boleh hanya duduk menerima materi. Mereka diharapkan dapat dengan mudah menyelesaikan permasalahannya secara reflektif kapanpun, dimanapun tanpa kaku terhadap teori atau pengetahuan akademiknya saja.
Untuk mengurangi kebiasaan mencontek (menguatkan pengetahuan mengenai teori-teori), bisa dilakukan dengan melibatkan peserta didik dalam kegiatan-kegiatan diskusi. Ini sangat berguna memberikan mereka kesempatan menyampaikan ide dan pandangan terhadap teori-teori yang ada. Dengan begitu, landasan berpikir akan kuat dan tidak terkesan omong kosong.
Jadi, apakah mencontek itu perlu?
0 komentar:
Post a Comment