Bagi saya, Perpustakaan Umum Enrekang adalah wahana intelektual yang mengagumkan. Rumah setiap individu yang mencintai ilmu pengetahuan. Istana megah untuk para pencari kebenaran. Namun, segala macam penggambaran tentangnya menjadi tidak jelas akhir-akhir ini.
Saya dibuat kesal oleh penataan buku-buku di perpustakaan. Niat hati hendak menyelami sastra hingga ke dasar-dasarnya, justru saya malah sibuk bermain dengan gadget: asyik, tapi minim faedah. Apa iya, saya harus menata sendiri susunan buku-buku yang berantakan tanpa membuat para pustakawan tersinggung? Itupun kalau punya waktu seharian di ruang baca. Dan, tentu saja tak boleh berharap digaji.
Setahu saya, pustakawan adalah orang yang paham seluk beluk pelayanan bagi pemustaka. Tahu alur masuk buku-buku (sirkulasi), penempatannya, dan ramah terhadap pengunjung. Namun sebagian pustakawan sepertinya tidak peduli dengan tugas dan tanggungjawab mereka. Yang terlihat hanyalah orang-orang kaku, lebih kaku daripada penjaga kompleks perumahan. Kebanyakan tidak peduli dengan kebutuhan para pemustaka. Menjengkelkan!
Saya begitu yakin petugas yang bersikap "dingin" itu tidak tahu soal karakteristik pemustaka yang mesti mereka layani. Adalah Septiyantono (2003) yang menawarkan cara menghadapi berbagai karakter pemustaka. Dari 10 poin yang ditawarkan, poin ke- 4 menjadi lebih spesifik ke saya sebagai pengunjung yang selalu ingin diberi pelayanan prima. Poin tersebut adalah: "apabila pengunjung banyak permintaan, dengarkan dan segera penuhi permintaannya serta minta maaf dan memberi alternatif lain apabila permintaan tidak tersedia".
Septiyantono akan sepakat bila wejangannya tersebut saya anggap sebagai: Inti pelayanan di perpustakaan. Dengan itu pula, para pustakawan harus menghadirkan suasana yang menggembirakan di ruang baca, tentu saja menata pustaka agar membuat pemustaka betah
Biasanya, setiap bulan para petugas di perpustakaan akan mengurut dan menata kembali posisi buku-buku sesuai klasifikasinya. Namun, letaknya malah tambah semrawut. Beberapa buku yang masih setia berada di raknya hanyalah buku-buku berat: filsafat, agama, ilmu hadis, dan lain sebagainya.
Saya jarang menemukan buku berada persis di rak sesuai klasifikasinya. Misal, sering buku novel nyebrang ke rak sejarah. Atau, buku psikologi nebeng di rak fiksi. Bukan main membingungkan.
Puncak kekesalan saya terhadap beberapa orang yang melayani para pemustaka adalah sikap mereka yang seolah tidak peduli dengan kenyamanan pengunjung (pemustaka). Mereka bercanda, ngobrol hal remeh temeh, tertawa lepas tanpa merasa berdosa telah mengganggu kenyamanan pengunjung. Saya yakin, pengunjung yang acuh dengan suara-suara bising tidak sedang "membaca". Sementara mereka yang hobi ribut-ribut itu bukanlah orang yang suka baca.
Meski kecewa, saya selalu berharap Perpustakaan Umum Enrekang dapat berbenah. Inovasi dan program sehebat apapun rasanya hambar jika pusat kegiatan literasi ini tidak menjadikan manajemen dan pelayanan sebagai prioritas. By the way, buku-buku terbaru karya Andrea Hirata kok menghilang (lagi) di rak-rak Fiksi? Hehehe
(Musdin Musakkir)
(Musdin Musakkir)
0 komentar:
Post a Comment