Agen perubahan. Kontrol sosial. Generasi kritis. Inovatif. Peduli. Dan, banyak lagi kata yang malah membuat paradoks bagi mahasiswa itu sendiri. Aktif dalam ruang diskusi, bergelimang teori. Namun, dalam implementasi mereka "mati".
Matinya mahasiswa dipicu oleh sikap apatisme yang hadir justru ketika mahasiswa berani berteriak merdeka. Hanya, belakangan mahasiswa sadar, bahwa kata merdeka adalah ibarat mitos pedang terhunus para petarung bugis, " sekali terhunus, darah mesti tertumpah".
Apatisme menjadi benteng antara teori dan aksi. Dalam kehidupan mahasiswa di kampus, hal ini menjadi begitu nyata. Kebijakan pimpinan kampus, amburadulnya layanan akademik, ketidakpastian penyelesaian studi, buruknya sarana penunjang kegiatan belajar, dibalas dengan sikap dingin dengan alasan "cari aman".
Ada beberapa sebab "mati"nya mahasiswa di kampusnya sendiri. Pertama, merasa bahwa tugas mahasiswa sepenuhnya adalah belajar dan diskusi. Sehingga, kesan yang timbul adalah semua problem yang terjadi akan selesai dengan sendirinya. Pimpinan kampus dianggap adalah orang-orang yang pasti tahu cara menyelesaikan masalah dan tugasnya dengan baik. Mahasiswa, diminta belajar saja dengan giat, begitu kira-kira.
Sebab yang kedua, mahasiswa menganggap bahwa tunduk dan patuh dengan segala kebijakan pimpinan kampus merupakan sikap mahasiswa yang baik. Tidak kritis berarti taat. Dan, ketaatan akan serta merta mengantarkan pada kesuksesan. Padahal, kritik dibangun untuk tidak membenarkan segala tindakan. Kritisme justru menuntut diberlakukannya tindakan yang ideal. Contoh, mendapatkan pelayanan akademik yang baik dari kampus adalah sesuatu yang ideal, sudah semestinya begitu. Sebaliknya, jika tidak baik, berarti tidak ideal. Ada yang salah.
Ketiga, ide dan gagasan yang cemerlang hanya akan menjadi sampah di kepala bila tak dilakukan. Parahnya, mahasiswa membiarkan itu terjadi begitu saja. Mereka mati rasa, kehilangan kekuatan untuk berbuat. Dalam hati kecil, mereka risih dengan peran yang disandang sebagai agen. Di sisi lain, mereka gembira karena kawan-kawan seperjuangannya juga ikut-ikutan mati rasa. Pengetahuan adalah kekayaan, itu saja yang penting.
Keempat. Mahasiswa sulit bersatu. Maka, kebenaran adalah milik masing-masing individu. Kelompok-kelompok diskusi menjamur hanya untuk mendiskusikan keberlangsungan kelompoknya sendiri. Terkait kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan mahasiswa, bisa diatur. Padahal, kompromi terhadap kebijakan semena-mena kampus adalah pengkhiatan terhadap kepercayaan mahasiswa lainnya.
Terakhir. Ketakutan berlebih. Mahasiswa menganggap bahwa nilai akademik yang rendah adalah bencana. Maka, untuk menghindari bencana tersebut, sebaiknya jangan berurusan dengan yang empunya kampus. Juga, agar lebih disayang dosen atau staf, berhenti mengeluh soal pelayanan. Pokoknya, nikmati saja yang ada, segala kekurangan maklumi saja. Dengan bersikap demikian, mahasiswa tipe ini akan punya harapan menjadi mahasiswa teladan dan penjaga nama baik kampus. Terdengar individualis dan pragmatis.
Memang, menjadi mahasiswa tidaklah mudah. Harapan begitu banyak di pundak kita. Berani menjadi mahasiswa berarti berani untuk mati-matian aksi. Perlu pula dipahami, nilai konstruktif mahasiswa ada dalam kritik. Kritik juga mesti dilakukan dalam semua ruang. Bisa dilakukan dalam dialog, diskusi, demonstrasi, hingga korespondensi.
Mengakhiri tulisan ini, penulis menyinggung diri sendiri, bahwa bisunya mahasiswa, sama dengan mati. Ketidakpekaan terhadap suatu masalah pertanda tak punya rasa sebagaimana pengertian apathes dalam bahasa Yunani. Kalau sudah mati rasa, bukankah lebih baik sekalian mati saja?
(Musdin Musakkir)
0 komentar:
Post a Comment