Hujan
dengan intensitas tinggi dan berlangsung beberapa hari mengguyur sejumlah
wilayah di Sulawesi Selatan. Akibatnya beberapa kabupaten terdampak banjir
cukup parah. Misalnya, Kabupaten Gowa, Maros, Pangkajene Kepulaun. Bahkan,
Takalar, Jeneponto, Wajo, Soppeng, hingga Kota Makassar pun tak luput dari
bencana tersebut. Sembari mendoakan warga yang menjadi korban di sana,
mengirimkan bantuan sebisa kita, renungan kembali patut kita lakukan bersama.
Ya,
bencana merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Sebagai manusia, kita tidak
punya kuasa untuk menolak malapetaka apalagi meminta sekalipun. Bila percaya
kepada Tuhan, kita akan mendapati diri kita sebagai makhluk yang lemah dan
berusaha mengambil hikmah dari setiap kejadian ini. Mengingat-ingat apa yang
selama ini telah kita lakukan terhadap alam. Boleh jadi, itu teguran atas apa
yang telah kita lakukan.
Banjir
adalah salah satu dari sekian banyak bencana yang pernah menimpa manusia. Banjir
disebabkan aliran air yang berlebih merendam daratan. Sumbernya bisa dari air
sungai atau air pasang (laut). Di beberapa kabupaten tadi, penyebabnya lebih
banyak dari meluapnya aliran sungai besar seperti Sungai Jeneberang di
Kabupaten Gowa. Jika ditelusuri, ada saja kaitannya dengan masalah ekosistem.
Seperti
yang disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, banjir yang terjadi
salah satunya karena menurunnya kualitas lingkungan di daerah hulu dan hilir, alih
fungsi hutan di daerah dataran tinggi sehingga erosi dan sedimentasi meningkat.
Selain itu, di sepanjang daerah aliran sungai, banyak tambang galian dan batuan
yang memicu pendangkalan sungai.
Pengrusakan
hutan juga diyakini oleh Gubernur
Sulsel, Nurdin Abdullah sebagai penyebabnya. Lewat jalur udara ketika meninjau
lokasi terdampak banjir, Nurdin Abdullah menyampaikan bahwa lahan di lereng Sungai
Saddang sudah tandus karena perladangan liar. Praktis, ketidakseimbangan
ekosistem inilah yang mesti diatasi ke depannya. Ada sebab dan akibat dari suatu
peristiwa, mestinya kita lebih banyak menaruh perhatian terhadap pemicu
(sebab), bukan merenungi akibatnya.
Tak
pernah terpikirkan sedetikpun oleh penulis untuk menggurui. Kesadaran terhadap
pelestarian lingkungan adalah bahan renungan bersama. Menjaga alam dengan tidak
mengekploitasi secara berlebihan bisa memperkecil kemungkinan terjadi bencana
di masa-masa mendatang. Penulis berusaha pula bertaubat, taubat ekologis. Tidak
mengulangi kebiasaan membuang sampah sembarangan, mengacaukan keseimbangan alam
yang sudah diatur Sang Pencipta. Memelihara hutan sebagai sumber keanekaragaman
hayati adalah sebuah keharusan bersama.
Penulis : Musdin Musakkir
Sumber gambar : tribunnews.com
0 komentar:
Post a Comment