Wasiat La Tanro ( Aru Buttu) | Kopilogi
Responsive Banner design
Home » » Wasiat La Tanro ( Aru Buttu)

Wasiat La Tanro ( Aru Buttu)



“ Iko anang appoku, sikadedattakko,
Tassitajan kaliuloakko, sisala
Makale’ko sikabudaan karuekko,
sisala karuekko sikabuda makaleo’ko, iko to andi paandi-i
kalemu iko tokaka pakakai kalemu,
pakalabii inde tomatoammu, dau
kuanni anangngu : ‘tau asu’ atau
‘puapakotuu’.”

 ***
Entah apa yang membuat generasi sekarang sulit berkomunikasi dengan santun antar sesamanya. Umpatan dan makian silih berganti masuk dan keluar dari telinga kita. Tutur kata yang ramah seakan mahal harganya. Bahkan, umur tidak lagi menjadi batasan dimana yang kecil bisa berlaku semaunya dan yang tua merajalela. Bosan dengan cacian yang standar, kata-kata kasar kini mulai membawa-bawa nama makhluk lain diantara perdebatan. Makhluk itu bernama hewan.

Perbedaan budaya bukan alasan untuk menanggalkan tradisi saling menghargai sesama manusia. Budaya dan tradisi malah bisa memperkuat hubungan persaudaraan diantara dua suku yang berbeda. Apalagi bila yang berkomunikasi itu adalah dua individu dengan budaya yang sama. 

Dahulu kala, bahkan untuk mempererat jalinan persaudaraan antara budaya- budaya yang berbeda, raja-raja melakukan perjanjian sebagai pondasi untuk saling memuliakan satu sama lain. Selain itu, dengan perjanjian-perjanjian tersebut, generasi mereka dapat saling berbaur dan bekerjasama tanpa harus dibatasi oleh budaya dan aturan-aturan yang memberatkan.

Di masyarakat Kabupaten Enrekang pun demikian. Menurut sejarah, sekitar abad ke-14 M, 6 raja berkumpul di kampung Leoran, sekitar 4 kilometer dari Kota Enrekang. Mereka adalah Addatuang Sawitto, Puang Makale, Puang Baroko, Puang Taulan, Aru’ Belawa, dan Puang Letta. Pertemuan tersebut melahirkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian bahwa enam raja tersebut “bersaudara”.


Awal Mula Penyematan Kata-Kata Kasar :

Puang Leoran ketika itu memelihara “Tau Asu” yakni mahkluk yang bagian kepala hingga perutnya berwujud manusia, sedang bagian perut hingga kakinya menyerupai anjing. Hingga kini masih saja ada masyarakat Enrekang ketika tidak mampu menahan amarahnya, akan mengucapkan kata-kata kasar dengan penuh luapan emosi. Memandang saudaranya sendiri sebagai binatang atau “tau asu” (manusia tapi memiliki sifat seperti anjing). Pada akhirnya, La Tanro P. Janggo Puang Kali Endekang (Aru Buttu), menurut catatan lontarak Enrekang, berwasiat:

“ Iko anang appoku, sikadedattakko,
Tassitajan kaliuloakko, sisala
Makale’ko sikabudaan karuekko,
sisala karuekko sikabuda makaleo’ko, iko to andi paandi-i
kalemu iko tokaka pakakai kalemu,
pakalabii inde tomatoammu, dau
kuanni anangngu : ‘tau asu’ atau
‘puapakotuu’.”

Artinya :
“ Wahai anak cucuku, agar kalian saling mengasihi, jangan menyimpan dendam dan dengki. Bila kalian bertengkar di waktu pagi, rukun kembali di waktu sore, bila kalian bertengkar di waktu sore, rukun kembali di waktu pagi. Yang adik tempatkan dirimu sebagai adik dan yang kakak tempatkan dirimu sebagai kakak. Dan jangan pernah lupa menghormati kedua orang tuamu. Pesanku yang terakhir, jangan mengatakan ‘anjing’ (tau asu) atau ‘tak ada gunamu’ (taen gunana te’pea) kepada anak-anakmu dan keturunanmu”

Sumber referensi :  Buku karya H. Puang Palisuri ( 2005)  Perjanjian Bersaudara Sawitto dan Enrekang diterbitkan oleh Yapensi Jakarta.

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Terpopuler

Kategori