Kopilogi: Budaya
Responsive Banner design

Wasiat La Tanro ( Aru Buttu)



“ Iko anang appoku, sikadedattakko,
Tassitajan kaliuloakko, sisala
Makale’ko sikabudaan karuekko,
sisala karuekko sikabuda makaleo’ko, iko to andi paandi-i
kalemu iko tokaka pakakai kalemu,
pakalabii inde tomatoammu, dau
kuanni anangngu : ‘tau asu’ atau
‘puapakotuu’.”

 ***
Entah apa yang membuat generasi sekarang sulit berkomunikasi dengan santun antar sesamanya. Umpatan dan makian silih berganti masuk dan keluar dari telinga kita. Tutur kata yang ramah seakan mahal harganya. Bahkan, umur tidak lagi menjadi batasan dimana yang kecil bisa berlaku semaunya dan yang tua merajalela. Bosan dengan cacian yang standar, kata-kata kasar kini mulai membawa-bawa nama makhluk lain diantara perdebatan. Makhluk itu bernama hewan.

Perbedaan budaya bukan alasan untuk menanggalkan tradisi saling menghargai sesama manusia. Budaya dan tradisi malah bisa memperkuat hubungan persaudaraan diantara dua suku yang berbeda. Apalagi bila yang berkomunikasi itu adalah dua individu dengan budaya yang sama. 

Dahulu kala, bahkan untuk mempererat jalinan persaudaraan antara budaya- budaya yang berbeda, raja-raja melakukan perjanjian sebagai pondasi untuk saling memuliakan satu sama lain. Selain itu, dengan perjanjian-perjanjian tersebut, generasi mereka dapat saling berbaur dan bekerjasama tanpa harus dibatasi oleh budaya dan aturan-aturan yang memberatkan.

Di masyarakat Kabupaten Enrekang pun demikian. Menurut sejarah, sekitar abad ke-14 M, 6 raja berkumpul di kampung Leoran, sekitar 4 kilometer dari Kota Enrekang. Mereka adalah Addatuang Sawitto, Puang Makale, Puang Baroko, Puang Taulan, Aru’ Belawa, dan Puang Letta. Pertemuan tersebut melahirkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian bahwa enam raja tersebut “bersaudara”.


Awal Mula Penyematan Kata-Kata Kasar :

Puang Leoran ketika itu memelihara “Tau Asu” yakni mahkluk yang bagian kepala hingga perutnya berwujud manusia, sedang bagian perut hingga kakinya menyerupai anjing. Hingga kini masih saja ada masyarakat Enrekang ketika tidak mampu menahan amarahnya, akan mengucapkan kata-kata kasar dengan penuh luapan emosi. Memandang saudaranya sendiri sebagai binatang atau “tau asu” (manusia tapi memiliki sifat seperti anjing). Pada akhirnya, La Tanro P. Janggo Puang Kali Endekang (Aru Buttu), menurut catatan lontarak Enrekang, berwasiat:

“ Iko anang appoku, sikadedattakko,
Tassitajan kaliuloakko, sisala
Makale’ko sikabudaan karuekko,
sisala karuekko sikabuda makaleo’ko, iko to andi paandi-i
kalemu iko tokaka pakakai kalemu,
pakalabii inde tomatoammu, dau
kuanni anangngu : ‘tau asu’ atau
‘puapakotuu’.”

Artinya :
“ Wahai anak cucuku, agar kalian saling mengasihi, jangan menyimpan dendam dan dengki. Bila kalian bertengkar di waktu pagi, rukun kembali di waktu sore, bila kalian bertengkar di waktu sore, rukun kembali di waktu pagi. Yang adik tempatkan dirimu sebagai adik dan yang kakak tempatkan dirimu sebagai kakak. Dan jangan pernah lupa menghormati kedua orang tuamu. Pesanku yang terakhir, jangan mengatakan ‘anjing’ (tau asu) atau ‘tak ada gunamu’ (taen gunana te’pea) kepada anak-anakmu dan keturunanmu”

Sumber referensi :  Buku karya H. Puang Palisuri ( 2005)  Perjanjian Bersaudara Sawitto dan Enrekang diterbitkan oleh Yapensi Jakarta.

Nilai-Nilai Mataratte' dalam Budaya Enrekang


Perilaku peserta didik semakin hari semakin tidak terkendali. Sopan santun tidak lagi menjadi dasar untuk bergaul dan berinteraksi di sekolah. Sesama peserta didik hampir tidak lagi menghargai teman dan lawan bicaranya. Begitupun dengan hubungan kepada guru, tata krama sudah mulai dilupakan. Guru dianggap seperti teman sebaya sehingga tidak ada batasan dalam bertutur dan berdialog. Bahasa yang digunakan pun beragam dan lebih banyak menggunakan bahasa kasar dan jauh dari tuntunan adat kesopanan. Bahkan, perilaku peserta didik mulai menyentuh ranah kriminalitas.

Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah kasus guru yang dianiaya oleh muridnya sendiri karena tidak terima ditegur ketika menggunakan telepon seluler saat jam pelajaran berlangsung. Peristiwa tersebut terjadi karena hilangnya nilai kesopanan.

Menurut Isma Naimatul Hani (2014), faktor utama hilangnya nilai kesopanan peserta didik adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap budaya sopan santun yang harus dilakukan ketika bergaul. Pemahaman terhadap budaya sopan santun sebenarnya bisa dimulai dari lingkungan keluarga dimana orang tua sebagai pendidik di rumah memiliki peranan penting dalam mengajarkan anak-anaknya mengenai budaya sopan santun di masyarakat.

Zuriah (dalam Wahyudi, 2014) mengemukakan sopan santun adalah sikap dan perilaku yang tertib sesuai dengan adat istiadat atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dengan memberikan pemahaman mengenai budaya sopan santun secara mendalam kepada anak-anak, perilaku sopan perlahan-lahan akan mengakar dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari anak termasuk saat berinteraksi dengan teman atau gurunya di sekolah.

Faktor lain yang menyebabkan perilaku negatif siswa baik kepada temannya di sekolah ataupun guru adalah hilangnya kesadaran masyarakat untuk mempertahankan budaya dan norma-norma adat sebagai bagian dari sistem nilai. Sistem nilai tersebut termasuk mengenai hakikat hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam hubungan secara horizontal tersebut, beberapa daerah memiliki ciri dan bentuk nilai tersendiri, salah satunya adalah nilai mataratte' dalam masyarakat Massenrempulu Kabupaten Enrekang yang memiliki pengertian sopan santun.

Usniaty (Kompasiana) memaknai mataratte' sebagai perilaku seseorang yang pandai membawa diri, atau seseorang yang tinggi nilai tata kramanya, istilah ini di katakan orangtua dahulu kala, bila melihat seseorang yang pandai membawa diri, mampu melakukan tata krama budaya sehari-hari dengan menunjukkan ketinggian budi kebaikan dan kebenaran akhlaqnya, itulah yang disebut orang yang mataratte, dan itu dicapai dari hasil pendidikan yang baik. Dari sini, pendidikan punya peran penting.

Salah satu cara untuk mengenalkan budaya kesopanan atau mataratte' kepada anak-anak dan generasi selanjutnya adalah dengan menggali kembali serta menyebarkan paham mengenai norma dalam bergaul dengan sesama manusia. Dengan memahami budaya dan nilai-nilai kesopanan yang berlaku di daerahnya, peserta didik akan memiliki filter dan kendali diri yang cukup untuk membendung tindakan-tindakan amoral.

Selanjutnya, adalah memupuk kesadaran budaya. Kesadaran budaya adalah sikap dimana seseorang mampu menghargai dan memahami adanya perbedaan didalam budaya tersebut. Kesadaran budaya sangat penting agar kita paham bahwa budaya yang ada di masyarakat itu sangatlah beragam. Dengan menanamkan kesadaran budaya, peserta didik akan mengontrol dirinya untuk tidak melakukan tindakan yang melanggar norma umum, termasuk sopan santun.

Selain orang tua, guru juga memiliki peran penting untuk memberikan pemahaman mengenai kebudayaan terhadap siswa. Guru harus hadir untuk memastikan seluruh peserta didik mendapatkan informasi tentang norma-norma bahkan pengetahuan tentang lintas budaya. Caranya adalah dengan mensosialisasikan nilai-nilai budaya lokal sehingga terbangun kesadaran budaya.

Upaya yang harus terus dilakukan adalah memasukkan nilai-nilai budaya lokal ke dalam kurikulum pendidikan. Langkah ini perlu agar generasi kita dapat membiasakan diri berinteraksi dan bersosialisasi dengan menjadikan budaya sebagai salah satu pijakannya. Selain itu, lembaga pendidikan nantinya tidak lagi direpotkan dengan adanya bias-bias budaya ditengah keberagaman yang muncul di sekolah dan masyarakat.

Penulis : Musdin Musakkir
*Beberapa referensi yang terkait definisi diantaranya:


[1] https://regional.kompas.com/read/2018/03/08/12274191/ditegur-karena-main-ponsel-di-kelas-murid-hajar-guru-dengan-kursi
[1]  Isma Naimatul Hani. Peningkatan pemahaman siswa tentang  Sopan santun melalui pelatihan  Role playing (Penelitian pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Bandongan T.A. 2014/2015)
[3] Zuriah (dalam Wahyudi, 2014: 295)
[4] C. Kluckhohn / http://legalstudies71.blogspot.com/2016/04/sistem-nilai-budaya-pandangan-hidup-dan.html
[5] https://www.kompasiana.com/usniaty.s.i.kom/57e143f78223bd29068b456c/mataratte
[6] https://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/01/budaya-dan-kesadaran-budaya/
[7] Mentari Oktaviana I.P , Andri Prasetiyo, Fajar Kharisma/ https://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/01/budaya-dan-kesadaran-budaya/

Enrekang Berbudaya


Kabupaten Enrekang menyimpan sejumlah kekayaan adat, budaya, serta alam yang tak ternilai harganya. Terlebih, semua kekayaan itu sudah sejak lama bertahan hingga menjadi simbol keindahan dari generasi ke generasi. Sebagai masyarakat yang diwariskan sumber daya yang melimpah itu, kita semestinya peduli dan menjadi bagian dalam upaya pelestariannya.
Memang perbedaan budaya setiap daerah di Indonesia selalu mengundang berbagai kajian dan penelitian yang mendalam dari berbagai pakar dan pemerhati kebudayaan. Terlebih, di Enrekang, juga merupakan salah satu daerah yang memiliki sisi kebudayaan menarik.

Budaya Masyarakat Enrekang
Budaya dan tradisi pada suatu daerah akan terus berkembang. Dinamisasi selalu berjalan sebagai efek pergeseran sistem nilai dan pengetahuan. Di Enrekang, ada beberapa unsur-unsur kebudayaan yang masih bertahan yang harus tetap dipertahankan agar tidak bergeser dari nilai aslinya. Berikut unsur-unsur tersebut :
1   
         * Bahasa
Bahasa-bahasa daerah merupakan kekayaan plural yang dimiliki bangsa Indonesia. Bahasa suku Duri merupakan salah satu unsur budaya yang terbentuk karena adanya komunikasi antara masyarakat yang ada di Kabupaten Enrekang.
Bahasa daerah lain (Bugis, Mandar, dan lain sebagainya) belum terlihat begitu diminati dalam penggunaan sehari-hari, hanya mungkin pada acara saat ritual adat, atau kegiatan ceramah di Masjid diselingi dengan bahasa Enrekang, Bugis sekedar untuk menyampaikan kepada hadirin atau jamaah agar mudah dipahami dan diinterpretasikan.
2    * Sistem Mata Pencarian
Perekonomian masyarakat Enrekang sebagian besar digantungkan pada mata pencaharian bertani. Petani-petani bawang menciptakan sistem bercocok tanam secara mandiri. Adakalanya mereka menggabungkan unsur-unsur kebudayaan secara tidak sengaja untuk mendukung kelangsungan bercocok tanam, seperti penggunaan pupuk kimia, pencarian informasi mengenai teknik bertani lewat internet dan lain sebagainya.
3   * Organisasi Sosial
Tidak dipungkiri bahwa masyarakat Enrekang selalu membutuhkan interaksi antara sesamanya. Sebagai makhluk sosial, keberadaan organisasi maupun lembaga kemasyarakatan memegang peranan penting dalam merawat budaya gotong-royong maupun musyawarah di Desa desa pada umumnya.
Forum-forum adat juga digerakkan lewat organisasi sosial ini untuk menjalin dan merangkai kebersamaan sesama anggota masyarakat.

Surga Budaya dan Wisata
            Meskipun kecenderungan arus globalisasi membawa dampak yang buruk terhadap pelestarian budaya di Enrekang, namun ada hal yang patut menjadi perhatian kita semua, yaitu perkembangan pariwisata. Ada ratusan situs dan budaya yang ada di kabupaten Enrekang Enrekang diuntungkan oleh uniknya bentangan alam dan posisinya yang strategis dalam sejarah masa silam. Oleh karena itu, segala bentuk dan konsep pariwisata dapat dihadirkan. Misalnya, dengan kekayaan alam seperti pegunungan, masyarakat jeli melihat peluang dengan menghadirkan wahana wisata ekstrim. Tidak hanya itu, jika dilihat lebih dekat lagi, ternyata ada perpaduan antara wisata sejarah dengan wisata alam, wisata alam dengan wisata budaya. Hal tersebut sudah cukup mengantarkan kabupaten Enrekang sebagai surga budaya dan pariwisata.

            Pada akhirnya, semua bergantung pada upaya yang dilakukan secara bersama-sama. Dalam pengertian yang lain, bahwa baik budaya dan pariwisata Enrekang, hanya akan maju dan tetap lestari apabila masyarakat bahu-membahu menjaga dan merawat kekayaan tersebut.  Harapan kita, upaya jangka pendek, menengah, dan jangka panjang akan selalu mengarah kepada kepentingan pengambangan Kabupaten Enrekang. Dampak positif yang diharapkan adalah ‘Negeri Massenrempulu’ –sebutan Kabupaten Enrekang- dapat maju berkembang sejajar dengan daerah lain, baik skala regional, maupun nasional. Semoga saja!
 (Musdin Musakkir)

Toba'na

Sumber: www.google.com/wartakita.id

“ Barangsiapa meringankan satu kesusahan orang mukmin dari kesusahan-kesusahannya di dunia, maka Allah akan meringankan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang dalam kesulitan, Allah akan memberi kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa menutup aib orang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba itu suka menolong saudaranya”. ( HR. Muslim Juz 4, hal.2074)

Minggu lalu, saya melihat sekelompok orang, mencabut dan memanen bawang, mengikat daunnya dengan karet gelang lalu mengumpulkannya ke dalam sebuah tenda yang sudah disiapkan. Sebuah pemandangan yang biasa bagi masyarakat Enrekang, khususnya yang berada di wilayah Kecamatan Anggeraja hingga ke ujung utara “Bumi Massenrempulu”, sebutan lain Kabupaten Enrekang. Tiga hari kemudian, sekelompok warga dengan peralatan seadanya, menambal jalan beton yang kian menganga di salah satu gang sempit di pinggiran kota Enrekang. Dan kemarin, sepasang suami istri dengan senyum sumringah, menyaksikan rumahnya dibopong warga, tiang-tiangnya diberi penyangga dari kayu. Pasak-pasaknya dipasangkan dengan tiang agar tegak dan kokoh. Rumah baru untuk keluarga baru, membuat terharu. Tak ada di antara mereka -para warga- yang menerima upah, semua atas dasar sukarela. Saya meyakini ini sebagai eksklusifitas tradisi, fenomena yang sering muncul namun tetap terasa alami, sebab semua masih bisa anda lihat dan buktikan saat anda ke daerah saya, tana rigalla, tana ria’bussungi.
Begitulah, sajian budaya dan tradisi yang dihidangkan bagi siapapun yang hendak bertamu ke Enrekang. Menunya pun menarik, membuat orang-orang akan ketagihan dan ingin berkunjung kembali. Filosofi yang tak terdefinisikan, karena lebih mudah dipahami dengan tindakan. Talk less do more, agaknya menarik untuk masyarakat Enrekang, disematkan padanya sudah pantas.
Saat masih di bangku sekolah, guru saya pernah bilang, Enrekang punya budaya tolong-menolong, bantu-membantu, dan nasehat-menasehati. Disingkat Tobana. Unik dan inspiratif. Kaum muda, generasi Enrekang, harus menanamkan kebiasaan itu katanya.
Koentjaraningrat, pakar kebudayaan menyodorkan beberapa unsur-unsur kebudayaan. Ada dua unsur tersebut yang sangat lekat di masyarakat enrekang yaitu, sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, dan sistem religi. Organisasi sosial telah jauh sebelumnya nampak dan agaknya akan selalu bertahan jika dipelihara dengan baik. Begitupun dengan sistem religi, dimana orang Enrekang sangat baik hubungannya secara vertikal, maupun horizontal. Sering berkumpul dan membahas sesuatu secara bersama-sama sebagai manifestasi dari perintah agar selalu bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu ( Q.S. Asy-Syura: 38).
Tak ada niat untuk mengadu tradisi dan budaya masyarakat Enrekang dengan suku lainnya di Indonesia. Namun, kekerabatan dan persaudaraan yang terjalin erat antara sesama masyarakat tidak serta merta didapatkan di tempat lain, apalagi di daerah perkotaan yang serba nafsi-nafsi (egois), lebih suka melakukan segalanya sendiri, malah ada yang tidak kenal dengan tetangga sendiri.
Hadist Nabi tentang meringankan beban saudara-saudara –sesama warga dan masyarakat- di awal, seperti selalu lekat dengan keseharian masyarakat Enrekang. Terkesan otomatis mengisi nilai-nilai kehidupan. Sebuah tabungan perlindungan di akhirat kelak. Ya, bukankah Allah akan membalas setiap kebaikan yang kita lakukan dan membebaskan kita dari kesusahan di atara sekian banyak kesusahan di sana?
 “Tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah”. Senang melihat saudara senang, ikut berempati kala ada yang menghadapi cobaan berat. Begitupun, saling menasehati jika ada kekeliruan dalam tingkah laku, ucapan dan prasangka. Tokoh masyarakat sangat berperan dalam mengatasi persoalan sosial, meminimalisir tindak kriminal, selalu mengutamakan musyawarah dan mufakat, berpesan dan saling mengingatkan untuk bersabar.
Lebih lanjut,  saling menjaga kehormatan saudara kita, juga disebutkan dalam Al-Qur’an, memuliakannya, tidak menceritakan kejelekannya. Saling melindungi secara psikologis. Dan lagi, masyarakat Enrekang pun memiliki hal ini.                                        
Selain itu, aspek religius masyarakat Enrekang menjadi tameng terhadap budaya luar yang sudah menggerogoti tradisi masyarakat seperti pola hidup hedonis, serba hiburan agar jangan sampai berbaur dalam kehidupan.
              Mari kembali mengutip sebuah ayat Al-Qur’an dalam surah Al-Maidah ayat 2 : “ ...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan..”.

              Perintah ini, yang insha Allah kita yakini bersama sebagai makhluk beriman, adalah anjuran bahwa budaya dan tradisi tolong menolong itu haruslah yang mengandung unsur kebaikan, bermanfaat, dan menginspirasi. Bukan dalam rangka melakukan sesuatu yang menjauhkan kita dari aspek religius, memutus tali silaturahim kita.

Kemana Tabe?

Gambar Ilustrasi : Budaya sopan santun sumber: www.google.com

Banyak hal telah berubah. Kemajuan teknologi informasi dan efek globalisasi telah menyentuh sendi-sendi kearifan lokal masyarakat. Budi pekerti tidak lagi mengisi barisan depan tata kehidupan masyarakat. Efeknya, kaum muda bahkan tidak lagi mengenal tata krama serta sopan santun.

Tabe’, sebuah tradisi sekaligus simbol penghormatan dan penghargaan terhadap orang tua pun tidak luput dari pengaruh arus kekinian tersebut. Tentu saja, kekinian yang dimaksud disini condong kepada persoalan yang berefek negatif.

Anak anak dan remaja memiliki waktu yang sedikit untuk berinteraksi dengan orang tua. Di ruang tamu, lebih sering terdengar suara radio atau televisi. Pembawa acara atau pemain sinetron lebih lihai mengalihkan perhatian penghuni rumah. Tidak ada lagi interaksi antara satu sama lain dalam keluarga. Gadget lebih besar daya tariknya ketimbang buku buku pelajaran. Seisi rumah sibuk ngobrol di media sosial daripada bertegur sapa dengan anggota keluarga.

Tabe' kini telah berkamuflase pada acara acara seremonial dan adat. Ia cenderung risih untuk dipertontonkan. Tabe' menjelma menjadi dongkrak untuk sekedar menyenangkan hati bapak dan puang. Begitulah perannya di zaman sekarang. Langka, sungguh langka.

Seperti yang diketahui, norma norma yang berlaku di masyarakat bukanlah suatu hal yang tertulis. Namun kenyataannya, efeknya lebih menjangkau sudut perilaku masyarakat yang membuatnya.
Dalam kebudayaan masyarakat Enrekang, pun telah mengakar adat serta kebiasaan sipakatau. Manifestasinya dalam kehidupan keseharian kita adalah tabe' sebagai reflekasi norma kesopanan.

Tabe' adalah norma sekaligus ia adalah kekayaan budaya yang bukan hanya mendukung kebudayaan untuk tetap ada melainkan juga menjaganya larut dalam keseharian masyarakat. Enrekang, sebagai rumahnya masyarakat berbudaya, menjaga keluhuran budi pekertinya lewat tabe'.
Kekhawatiran pun mengerucut, menanyakan kenapa tabe' seolah hilang dari kerumunan perilaku dan pekerti masyarakat Enrekang? Anak anak dan sebayanya seolah tak pernah tahu soal penghormatan itu.

Apa yang salah dengan mereka atau bahkan kita? Kemana globalisasi membawa tabe' itu hingga hilang tersapu arus kekinian. Apakah sudah tak ada nilai nilai yang perlu dijaga?
Sebagaian orang tua menganggap lumrah hal ini. Tapi bukankah sikap acuh yang membuat tabe' lari dari bumi ini? Merasa tak dipedulikan lagi?
Perlu rasanya membekali mereka dengan pemahaman tentang kebudayaan.

Kebudayaan akan terus berkembang. Tapi lupakah kita bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa kita sendiri.
Maka, perlu bagi kita kembali memberikan porsi bagi kebudayaan agar tidak menjadi asing di mata anak-anak kita.

Pertama, mulailah di lingkungan keluarga sebagai sebuah prioritas. Berikan contoh yang baik bagaimana bersikap terhadap orang yang lebih tua, membangun komunikasi dengan anggota keluarga, dan kita ( pembaca-red), lebih mengetahui apa-apa saja yang menjadi perhatian utama untuk diajarkan di rumah.

Kedua, biarkan pendidikan mengambil posisi penting  untuk menjawab masalah ini. Ranahnya cukup jelas sebagai pilar dalam mencerdaskan masyarakat. Pendidikan sebagai fondasi memuliakan dan memanusiakan manusia itu sendiri. Berikan guru kesempatan untuk mendidik bukan hanya sekedar mengajar. Biarkan siswa berproses untuk peka dengan lingkungannya. Terampil bertutur kata, lemah lembut dalam berbicara. Menghormati guru sebagai orang tua mereka di sekolah.

Ketiga, buatlah tabe' kembali membumi di bumi Massenrempulu. Bukankah aneh, ketika nilai dan norma yang sudah kita bangun bersama diruntuhkan dengan mudah oleh anak cucu kita. Sekali lagi, budaya adalah apa yang telah kita bangun begitu lama. Budaya bukan hanya untuk kita pertontonkan di acara-acara tertentu saja. Agar tetap ada dalam diri masyarakat kita, biarkan ia membaur di kehidupan kita.

Membangun kebudayaan yang kaya dan meresap dalam diri masyakat juga bukan kebetulan saja. Waktunya sungguh tidaklah singkat. Menghargai waktu pun sama pentingnya dengan menghargai budaya yang telah kita wariskan ke generasi kita. Mari, sekali lagi, buat tabe' kembali membumi.

Wisata Sehat Ala Desa Bone Bone

Desa Bebas Asap Rokok Bone Bone

Bone-Bone adalah sebuah desa yang terletak di ujung Kabupaten Enrekang dan masuk dalam wilayah Kecamatan Baraka. Untuk bisa sampai ke desa ini, kita harus menempuh jarak ± 18 km dari Baraka, ibu kota kecamatan dengan menggunakan kendaraan roda empat ataupun roda dua. Namun ada baiknya untuk memilih moda transportasi roda dua atau motor karena kondisi jalan yang dilalui agak curam dan sempit menuju lokasi. Dengan ketinggian 1500 meter dari permukaan laut, menjadikan desa ini memiliki udara yang cukup dingin dan sejuk. Desa dengan penduduk kurang lebih 1200 orang ini dikelilingi pegunungan dan bukit yang banyak berjejer. Pemandangan di sekelilingnya memang sangat menakjubkan. Suasana khas pedesaan menambah tenteram  hati siapa saja yang mengunjunginya.

Saat memasuki wilayah Bone-Bone, kita akan disuguhi pemandangan berupa hamparan sawah yang berpetak-petak dengan terasering yang indah. Melihat ternak yang berjemur dan mandi di kubangan lumpur menjadi hiburan pelepas lelah sepanjang perjalanan. Udaranya yang sejuk, airnya yang jernih dan dingin serta bermacam-macam tanaman perkebunan melengkapi hijaunya alam Desa Bone-Bone. Sungai yang mengalir mambasahi tanah khas Bone-Bone yang subur dan gembur.
Berkunjung ke desa ini tidak akan membuat anda menyesal. Banyak hal menarik dan unik yang bisa ditemukan di sini. Bahkan bisa membuat kita berdecak kagum. Diantaranya karena desa ini punya kelebihan dibanding desa-desa yang lain di Indonesia.

Sejak beberapa tahun terakhir, sekitar tahun 2000-an, Bone-Bone dikenal sebagai Desa Sehat. Julukan ini diberikan karena memang di desa ini menerapkan pola hidup sehat bagi warganya. Program yang dicanangkan pemerintah desanya seperti kawasan bebas asap rokok, bebas penggunaan zat-zat kimia dalam setiap olahan makanan mereka, larangan mengkonsumsi narkoba termasuk zat adiktif lainnya, larangan mengkonsumsi minuman keras atau beralkohol termasuk minuman tradisional masyarakat Enrekang seperti tuak yang sudah melalui proses fermentasi.
Hal ini dilakukan oleh pemerintah desa setempat guna menjadikan warga dan generasi mereka agar menjadi sehat dan terbebas dari pengaruh obat-obatan atau bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Selain itu, seluruh warga desa tentu akan menjadi sejahtera dan terbebas dari penyakit kronis yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan-bahan kimia pada makanan. Dengan begitu, harapan hidup warga desa pun tinggi. Aparat Pemerintah Desa setempat juga terus mengawasi warganya agar tidak melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan. Sanksi bagi yang melanggar diberikan berupa kerja sosial, seperti membersihkan rumah ibadah dan sekolah. Terlepas dari itu semua, atas kerjasama dan kesadaran penuh seluruh warga desa, Bone-Bone memang layak mendapatkan predikat sebagai Desa Sehat.

Sebenarnya, selain menawarkan wisata sehat bebas asap rokok, dan terobosan lainnya di bidang kesehatan masyarakat,  masih banyak hal lain yang bisa dikembangkan. Kultur budaya serta adat yang masih terjaga dengan baik mampu menjadi daya tarik tersendiri. Di sini, budaya gotong royong masih dipelihara dan sangat terasa. Warga desa dengan suka cita melakukan kegiatan membersihkan lingkungan setiap minggunya.

Hal lain yang juga tak kalah menarik untuk dikembangkan di desa ini adalah wisata kuliner, khususnya bagi para penikmat olahan bubuk hitam bernama kopi. Hasil perkebunan bernilai ekspor tinggi ini menjadi komoditi andalan warga  desa setempat. Pada tahun 2008 misalnya, desa Bone-Bone menjadi juara pertama nasional sebagai penghasil kopi dengan aroma yang paling khas mengalahkan kopi dari daerah lain di Indonesia. Ini menjadi bukti betapa Desa Bone-Bone merupakan surga para pecinta kopi. Apalagi, bagi pengunjung yang datang bisa menikmati olahan kopi yang diproses secara tradional dan tentunya rasanya lebih nikmat dari kopi olahan pabrik modern. Selain aroma dan kenikmatannya, desa ini juga bisa menjadi sentra pengembangan kopi varietas lain karena lahan dan tanahnya tergolong subur.
Suasana Desa Bone Bone
Tidak cukup sampai disitu, tanaman hasil hutannya pun cukup menjanjikan, Pohon Nilam yang banyak tumbuh di hutan alam Desa Bone-Bone juga memiliki nilai ekonomi tinggi dan masyarakat di sini memanfaatkannya untuk membuat bahan baku parfum. Bahkan mereka memiliki koperasi khusus yang bekerjasama dengan perusahaan asal Perancis untuk memproduksinya. Dengan begitu, aroma kopi dan harumnya hasil sulingan pohon nilam menambah predikat Desa Bone-Bone menjadi Desa Wangi.

Dengan potensi-potensi seperti ini, sebaiknya ada upaya yang dilakukan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sana. Kopi misalnya, yang menjadi komoditi andalan di desa ini dan sudah memiliki kualitas yang diperhitungkan dalam skala nasional, bisa dibantu pemasarannya dengan cara dikemas dalam kemasan yang praktis agar bisa dinikmati oleh masyarakat luas bahkan di luar daerah. Secara tidak langsung, hal ini juga akan mendorong usaha-usaha lain di desa ini untuk berkembang.
Sungguh, kearifal lokal masyarakat Bone-Bone adalah aset yang tak ternilai harganya. Membangun desa serta budaya leluhur yang jauh dari pengaruh budaya luar perlu diapresiasi. Merawat dan melestarikan alam yang kaya patut didukung, terlebih mereka melakukannya atas kesadaran sendiri tanpa paksaan.

Hanya saja, pembangunan di desa ini masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Minimnya fasilitas yang memadai seperti jalan yang rusak dan akses telekomunikasi yang sulit membuat warga di desa ini kesulitan dalam memasarkan hasil pertanian dan perkebunan mereka.

Sebagai aset kebanggaan daerah dan ikon Kabupaten Enrekang, sudah seharusnya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat ini diperhatikan. Dengan begitu, geliat perekonomian warga desa menjadi lebih baik serta hasil pertanian termasuk sumber pemasukan pariwisatanya juga bisa terus ditingkatkan. Tentunya perlu ada upaya bersama dari semua pihak khususnya pemerintah daerah agar keinginan ini bisa terwujud. Semoga saja. Insya Allah!
Powered by Blogger.

Terpopuler

Kategori