Perilaku peserta didik semakin hari semakin tidak terkendali. Sopan santun tidak lagi menjadi dasar untuk bergaul dan berinteraksi di sekolah. Sesama peserta didik hampir tidak lagi menghargai teman dan lawan bicaranya. Begitupun dengan hubungan kepada guru, tata krama sudah mulai dilupakan. Guru dianggap seperti teman sebaya sehingga tidak ada batasan dalam bertutur dan berdialog. Bahasa yang digunakan pun beragam dan lebih banyak menggunakan bahasa kasar dan jauh dari tuntunan adat kesopanan. Bahkan, perilaku peserta didik mulai menyentuh ranah kriminalitas.
Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah kasus guru yang dianiaya oleh muridnya sendiri karena tidak terima ditegur ketika menggunakan telepon seluler saat jam pelajaran berlangsung. Peristiwa tersebut terjadi karena hilangnya nilai kesopanan.
Menurut Isma Naimatul Hani (2014), faktor utama hilangnya nilai kesopanan peserta didik adalah kurangnya pemahaman siswa terhadap budaya sopan santun yang harus dilakukan ketika bergaul. Pemahaman terhadap budaya sopan santun sebenarnya bisa dimulai dari lingkungan keluarga dimana orang tua sebagai pendidik di rumah memiliki peranan penting dalam mengajarkan anak-anaknya mengenai budaya sopan santun di masyarakat.
Zuriah (dalam Wahyudi, 2014) mengemukakan sopan santun adalah sikap dan perilaku yang tertib sesuai dengan adat istiadat atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dengan memberikan pemahaman mengenai budaya sopan santun secara mendalam kepada anak-anak, perilaku sopan perlahan-lahan akan mengakar dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari anak termasuk saat berinteraksi dengan teman atau gurunya di sekolah.
Faktor lain yang menyebabkan perilaku negatif siswa baik kepada temannya di sekolah ataupun guru adalah hilangnya kesadaran masyarakat untuk mempertahankan budaya dan norma-norma adat sebagai bagian dari sistem nilai. Sistem nilai tersebut termasuk mengenai hakikat hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam hubungan secara horizontal tersebut, beberapa daerah memiliki ciri dan bentuk nilai tersendiri, salah satunya adalah nilai mataratte' dalam masyarakat Massenrempulu Kabupaten Enrekang yang memiliki pengertian sopan santun.
Usniaty (Kompasiana) memaknai mataratte' sebagai perilaku seseorang yang pandai membawa diri, atau seseorang yang tinggi nilai tata kramanya, istilah ini di katakan orangtua dahulu kala, bila melihat seseorang yang pandai membawa diri, mampu melakukan tata krama budaya sehari-hari dengan menunjukkan ketinggian budi kebaikan dan kebenaran akhlaqnya, itulah yang disebut orang yang mataratte, dan itu dicapai dari hasil pendidikan yang baik. Dari sini, pendidikan punya peran penting.
Salah satu cara untuk mengenalkan budaya kesopanan atau mataratte' kepada anak-anak dan generasi selanjutnya adalah dengan menggali kembali serta menyebarkan paham mengenai norma dalam bergaul dengan sesama manusia. Dengan memahami budaya dan nilai-nilai kesopanan yang berlaku di daerahnya, peserta didik akan memiliki filter dan kendali diri yang cukup untuk membendung tindakan-tindakan amoral.
Selanjutnya, adalah memupuk kesadaran budaya. Kesadaran budaya adalah sikap dimana seseorang mampu menghargai dan memahami adanya perbedaan didalam budaya tersebut. Kesadaran budaya sangat penting agar kita paham bahwa budaya yang ada di masyarakat itu sangatlah beragam. Dengan menanamkan kesadaran budaya, peserta didik akan mengontrol dirinya untuk tidak melakukan tindakan yang melanggar norma umum, termasuk sopan santun.
Selain orang tua, guru juga memiliki peran penting untuk memberikan pemahaman mengenai kebudayaan terhadap siswa. Guru harus hadir untuk memastikan seluruh peserta didik mendapatkan informasi tentang norma-norma bahkan pengetahuan tentang lintas budaya. Caranya adalah dengan mensosialisasikan nilai-nilai budaya lokal sehingga terbangun kesadaran budaya.
Upaya yang harus terus dilakukan adalah memasukkan nilai-nilai budaya lokal ke dalam kurikulum pendidikan. Langkah ini perlu agar generasi kita dapat membiasakan diri berinteraksi dan bersosialisasi dengan menjadikan budaya sebagai salah satu pijakannya. Selain itu, lembaga pendidikan nantinya tidak lagi direpotkan dengan adanya bias-bias budaya ditengah keberagaman yang muncul di sekolah dan masyarakat.
Penulis : Musdin Musakkir*Beberapa referensi yang terkait definisi diantaranya:
[1]
https://regional.kompas.com/read/2018/03/08/12274191/ditegur-karena-main-ponsel-di-kelas-murid-hajar-guru-dengan-kursi
[1] Isma Naimatul Hani. Peningkatan pemahaman siswa tentang Sopan santun melalui pelatihan Role playing (Penelitian
pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Bandongan T.A. 2014/2015)
[3]
Zuriah
(dalam Wahyudi, 2014: 295)
[4] C. Kluckhohn / http://legalstudies71.blogspot.com/2016/04/sistem-nilai-budaya-pandangan-hidup-dan.html
[5] https://www.kompasiana.com/usniaty.s.i.kom/57e143f78223bd29068b456c/mataratte
[6]
https://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/01/budaya-dan-kesadaran-budaya/
[7]
Mentari
Oktaviana I.P , Andri Prasetiyo, Fajar Kharisma/ https://sosiologibudaya.wordpress.com/2012/03/01/budaya-dan-kesadaran-budaya/
0 komentar:
Post a Comment