Saya mencoba menanggapi dingin
soal mahasiswa Enrekang memiliki minat baca dan menulis yang dinilai minim,
seperti mengiyakan bahwa hal ini memang fakta yang terbuka sejak lama. Pernyataan
tersebut disampaikan pimpinan umum Suaramaspul di MataKita.co (10/1/2019), yang saya yakini punya niat baik untuk pengembangan
litarasi di Kabupaten Enrekang ke depan. Namun, kenyataan akan nampak lebih
menyedihkan bila kita tidak menaruh perhatian terhadap upaya pemecahannya.
Karena berkaitan dengan minat,
bolehlah rasanya membahas lebih dulu soal pengertiannya, atau paling tidak hal
yang terkait dengan minat. Ini perlu agar diperoleh pemahaman baru sebelum
mencoba untuk sekedar menduga-duga. Minat menurut Sumadi Suryabrata (1988) adalah kecenderungan dalam diri
individu untuk tertarik pada suatu objek atau menyenangi suatu objek. Dari
sini, terdapat celah untuk dipahami bagaimana objek tersebut bisa dikaitkan
dengan benda (buku). Sementara karakteristik minat menurut Bimo Walgito ada tiga, diantaranya; 1) menimbulkan sikap positif
terhadap suatu objek, 2) adanya sesuatu yang menyenangkan yang timbul dari
sesuatu objek itu, 3) mengandung suatu pengharapan yang menimbulkan keinginan
atau gairah untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi minatnya. Untuk bagian ini, gambaran
yang diperoleh lebih terang lagi, mahasiswa Enrekang tidak tertarik pada suatu
objek yang bernama buku.
Kesimpulan sementara tadi
mendapat anggukan dari data yang entah berapa kali telah dipaparkan, ‘dari 1000
orang Indonesia, hanya 1 yang minat membaca’. Tentu saja dari sekian banyak
orang yang “ogah” membaca itu terdapat mahasiswa di dalamnya. Rasanya sungguh
memalukan berada di deretan objek survey tersebut.
Permasalahan yang berkembang
terkait rendahnya minat dalam membaca dan menulis adalah karena membaca dan
menulis belum dianggap sebagai bagian dari peran dan tugas mahasiswa. Padahal,
untuk memperkuat peran mahasiswa sebagai pembelajar tentu butuh banyak membaca.
Sementara dalam menyampaikan gagasan, salah satu caranya dengan jalan menulis. Selain
itu, beralihnya media dari bentuk fisik ke digital juga menjadi penyebab yang
sulit dihindari. Bahkan, media audio-visual lebih menarik untuk dinikmati
ketimbang membuka lembaran-lembaran buku.
Memang mengajak mahasiswa membaca
ibarat memberi makan orang lapar tapi tidak berselera menyantap makanan yang dihidangkan.
Mahasiswa memang selalu lapar. Butuh asupan ide-ide dan gagasan. Dalam kehidupan
kampus, beragam menu tersedia. Aroma teori-teori, hipotesis-hipotesis dan karya
ilmiah menggugah selera. Bila nafsu makan berkurang, butuh sedikit upaya untuk
menambah cita rasa masakan. Tentu saja, paparan ini bertujuan agar mahasiswa
tidak hanya bisa dikenyangkan dengan “makanan otak” tadi tetapi bisa membuat
masakan sendiri dengan rasa yang berbeda dan lezat (menulis).
Beruntung ditengah minimnya
kesadaran ber-literasi mahasiswa Enrekang, masih banyak pihak yang menaruh
perhatian dan mencoba tetap memberikan sumbangsih pemikiran. Harapan itu ada
ditandai dengan upaya-upaya pemasyarakatan minat baca oleh komunitas-komunitas
yang peduli terhadap generasi Enrekang. Pemerintah Enrekang melalui Dinas
Perpustakaan dan Kearsipan terus berinovasi agar lebih banyak lagi yang melek
baca dan menjadikan ruang perpustakaan sebagai wahana intelektual. Media online
pun mulai mengambil peran dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa
atau pelajar yang ingin menuangkan gagasannya lewat tulisan. Untuk beberapa
usaha tersebut, butuh kesabaran dan kerjasama dari semua pihak. Semoga hasilnya
menggembirakan!
0 komentar:
Post a Comment