Kehilangan orang yang paling disayangi memang sungguh berat dan amat memilukan jiwa. Terlebih orang yang meninggalkan kita adalah pendamping hidup yang sekian lama telah melewati suka duka, menjalani pahit getir kehidupan bersama. Kesedihan, -bagaimanapun disembunyikan- tetap saja tergambar di wajah. Siapapun, sehebat dan sekuat apapun kita, karena sedih adalah manusiawi, orang-orang di sekitar mesti memaklumi. Bahkan walau yang kehilangan itu adalah seorang Ustaz.
Ahad, 20 Januari mungkin adalah hari memilukan bagi Ustaz Maulana, penceramah kondang yang saban hari mengisi kajian keagamaan di salah satu televisi swasta nasional. Istri tercinta meninggal dunia dengan riwayat penyakit yang telah diderita beberapa tahun lalu. Sebagai Ustaz, beliau tetaplah manusia biasa yang ketika kehilangan akan merasakan duka lara.
Tak terhitung berapa banyak orang yang termotivasi, tersentuh oleh ceramah beliau. Jemaah yang sedih, jadi gembira. Mereka yang gundah, jadi semangat. Ada yang ditinggal mati keluarganya perlahan menjadi kuat dan sabar. Namun, apa yang dialami jemaah itu tidak mustahil akan dialami pula oleh beliau. Beliau bisa saja berduka, sedih atau bahkan menangis sekalipun. Tetapi, itu semua adalah bagian dari respon manusia.
Menurut Schulz (1978), ada tiga tahapan dari proses berduka, yaitu fase awal dimana seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasaan tersebut bisa saja berlangsung beberapa hari dan memungkinkan individu tersebut kembali pada perasaan berduka berlebihan. Fase pertengahan, dimulai pada minggu ketiga dengan ditandai adanya peilaku obsesif. Perilaku yang dimaksud adalah terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi. Ketiga, adalah fase pemulihan. Di fase ini, individu mulai memutuskan untuk tidak (larut) mengenang masa lalu dan berusaha untuk tetap melanjutkan kehidupannya, berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
Sebagai guru, pendakwah, pembimbing spiritual, kita yakin beliau akan mampu melewati tahapan sebagaimana yang dikemukakan Schul di atas. Paling tidak, ada pelajaran berharga untuk kita ambil seperti, melatih diri untuk tetap bersabar dalam setiap keadaan. Menganggap segala musibah bisa saja menimpa diri kita, tanpa kenal waktu dan keadaan. Tetap bergaul, bersosialisasi dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terdekat lainnya juga bisa menjadi penyembuh duka.
(mm)
0 komentar:
Post a Comment