Kopilogi: Motivasi
Responsive Banner design

Tiga puluh satu juta seratus empat ribu kali


Saya suka sekali membaca buku-buku motivasi. Ada untungnya juga,  selain membangkitkan semangat diri,  kisah-kisah inspiratif yang saya baca kerap saya bagikan ke orang-orang terdekat. Dan, efeknya luar biasa. Seperti virus, kisah itu menjangkiti pikiran mereka. Bahkan,  bersemayam di sana.

Selain buku,  tentu banyak pula artikel-artikel bergenre motivasi-inspirasi yang tersebar di dunia maya. Mereka -para penulis- juga ikut membagi kisah menarik agar semua pembaca bisa merasakan hal yang sama sekaligus memetik hikmah dari apa yang mereka bagikan.

Soal tiga juta seratus empat ribu kali itu bagaimana ceritanya?

Itu soal bagaimana meyakinkan diri untuk bisa berbuat lebih. Sebagai manusia,  kita sebenarnya punya kemampuan yang tak terbatas.  Hanya, kadang kala kita ragu soal kelebihan itu. Standar kita terhadap kemampuan diri sebatas persepsi kita terhadap diri sendiri. Padahal,  apa yang kita khawatirkan sebenarnya bukanlah hal yang sulit sebab setiap hari pun kita sanggup menjalani puluhan aktivitas berbeda tanpa disadari.

Kisah ini saya temukan di salah satu laman khusus berbagi motivasi. Adegan dialog antara tukang jam dengan jam buatannya kira-kira begini:

“Hai jam, sanggupkah kamu berdetak paling tidak 31.104.000 kali selama setahun?” tanya tukang jam memulai.

“Hah?,” jam terperanjat, “Mana mungkin saya sanggup ?”

“Bagaimana kalau 86.400 kali dalam sehari?”

“Delapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?” jam menjawab dengan penuh keraguan.

“Bagaimana kalau 3.600 kali dalam satu jam?” tantang tukang jam.

“Dalam satu jam harus berdetak 3.600 kali? Itu masih terlalu banyak”, tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.

Dengan penuh kesabaran, Tukang jam itu kemudian bertanya lagi:
“Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?”

“Naaaah, kalau begitu, aku sanggup!” kata jam dengan penuh antusias.

Akhirnya setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Hingga akhirnya tanpa terasa, detik demi detik pun terus berlalu. Apa yang terjadi sungguh diluar dugaan karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31.104.000 kali.

Jam, pada awalnya ragu akan kemampuan dirinya. Ia begitu takut menghadapi hal-hal besar yang sebenarnya sangat mungkin dilakukan. Tanpa disadari, ia terus-menerus melakukan hal yang menurutnya ringan dan sepele meski pada akhirnya hasilnya sungguh luar biasa. Hal yang dianggap kecil tapi dilakukan terus menerus akan menghasilkan sesuatu yang besar dan menakjubkan.

Meski kisah ini fiktif, tentu bukan alasan untuk mengabaikan hikmahnya. Layaknya jam tadi,  manusia punya kemungkinan lebih besar untuk melakukan hal-hal besar dengan modal keyakinan diri serta kesanggupan untuk memulai dengan konsisten. Kalau toh tak sanggup melakukan gebrakan setiap detik, menit, atau jam,  paling tidak kita punya waktu 30 hari dalam sebulan untuk mengasah potensi diri sekaligus menemukan keajaiban-keajaban luar biasa yang dimiliki diri kita. Bagaimana? Siap menemukannya?

Lambusu'nu ji nutau!


Pukul 6.30 pagi saya sudah siap siap. Sejak beberapa bulan, tak pernah secepat ini. Maklum, hari ini saya punya tugas meliput kegiatan jalan santai yang diadakan kampus tempat saya kuliah. Pikir saya, sekalian ikut jadi peserta. Lumayan kalau beruntung bisa dapat sepeda.

Tak sampai lima menit, saya sudah berada di pelataran Patung Sapi, ruang publik yang jadi salah satu ikon Kota Enrekang. Di tempat ini, kegiatan bakal diadakan.

Sebenarnya, jalan sehat hanya satu diantara banyak agenda kegiatan yang diselenggarakan pihak kampus. Kegiatan ini masih bagian dari perayaan dies natalis yang ke 46-tahun.

Lima belas menit lebih berlalu. Belum muncul calon peserta jalan santai. Hanya ada tiga orang panitia yang terlihat beres-beres dan menyiapkan keperluan jalan santai.

Motor saya parkir di halaman perpusda yang letaknya di seberang jalan. Sembari menunggu acara dimulai, saya iseng saja membantu panitia. Menyiapkan sound system, check sound, dan lain-lain. Hanya beberapa menit, pekerjaan ringan itu selesai. Lepas itu, saya sibuk memutar-mutar lagu via youtube. Cari-cari lagu yang pas dengan momen kali ini.

Pukul 08.00 kegiatan jalan santai pun dimulai. Jadwal molor sekira satu jam. Tidak masalah, sudah biasa pikir saya. Panitia mengumumkan rute kali ini melewati pinggiran kota, melintasi kawasan wisata baru Swiss (Sekitaran Sungai Saddang) --begitu masyarakat di Enrekang menyebutnya-- memasuki kawasan pemukiman padat di jalan kemakmuran, dan berakhir di tempat keberangkatan tadi.

Saya yang jarang olahraga, cukup merasa penat kali ini. Meski sekedar hiburan dan jadi ajang silaturahmi dengan peserta yang kebanyakan mahasiswa, selembar kupon di tangan jelas jadi obat tersendiri.

Benar saja, momen yang ditunggu tunggu pun tiba. Pukul 09.30 pengumuman pemenang melalui undin dimulai. Semua mata tertuju pada nomor undian di tangan masing-masing.

Sebenarnya, saya tak pernah punya rekor yang baik dalam soal undian. Terhitung, seingat saya tiga kali dalam berbagai kesempatan, saya tak pernah bawa pulang hadiah. Tapi tentu bukan itu intinya. Saya hanya senang saja dengan suasana seperti ini.

Satu persatu nomor undian dikocok, diumumkan dan disambut riuh para pemenang. Anak-anak hingga dewasa silih berganti naik ke panggung mengambil hadiah, berfoto bersama. Saya masih tenang-tenang saja.

Cuaca pagi itu mulai panas dan memaksa saya bergeser mencari tempat yang teduh. Di sana, saya duduk bersama seorang dosen. Kaget juga melihat ia memegang lima lembar kupon.

Setelah basa basi bertanya, saya dibuat tertawa sebab belum satupun dari lembar kupon itu menang. Sang dosen tetap optimis. Seolah ingin disaksikan keberhasilannya, ia meminta saya memegang beberapa lembar kupon di tangannya.

"kalau saya dapat dua hadiah, kamu saya kasih satu" Janjinya.

Beberapa saat tahu lah saya, hanya sedikit peserta yang punya satu kupon termasuk saya. Kebanyakan lebih dari 2 kupon. Jika dihitung, peserta termasuk panitia yang hadir, paling banyak 200-an orang. Sementara menurut panitia, jumlah kupon sebelum kegiatan dimulai ada seribu lebih. Jadi, paling tidak jika dirata-ratakan, tiap peserta bisa dapat masing-masing 5 lembar kupon.

Rezeki di tangan Allah. Saya mencoba positif saja. Lagi pula, kalau tidak kebagian hadiah, tak perlu juga harus kecewa. Santuy, begitu bahasa gaul anak anak sekarang.

Puluhan hadiah menarik pun berpindah tangan. Dispenser, setrika listrik, penanak nasi, hingga handphone sudah menghilang dari panggung. Tersisa satu undian lagi dengan hadiah yang ditunggu tunggu. Sebuah sepeda berdiri gagah, menunggu siapa pengayuh abadinya.

Adegan seolah didramatisir sebab beberapa kali undian diumumkan, tak ada yang maju menjemput hadiah utama itu. Panitia dipaksa mengundi nomor lain yang berserakan di kotak undian yang terbuat dari kardus.

Dan pada akhirnya, setelah beberapa jam kepanasan menunggu, harapan seluruh peserta pun pupus. Iya, termasuk saya. Kecuali perempuan berkerudung yang dengan wajah sumringah berlari menuju panggung. Dia adalah seorang mahasiswi. Senyumnya meluluhlantakkan harapan kami. Tak ada lagi harapan meski pada akhirnya kekecewaan peserta justru dibarengi gelak tawa, lepas. Pelan pelan mereka bubar.

Pak dosen tadi, berbalik arah menuju tenda panitia,  berbaur dengan para dosen lain.
Sambil senyam-senyum, saya pun ikut beranjak dari lokasi acara. Menuju gerobak kopi yang ada di seberang jalan. Kebetulan juga, yang punya adalah kawan saya. 

Belum sampai di sana, panitia mengumumkan bahwa akan ada hadiah hiburan. Sebuab handphone.  Seperti mimpi saja, kupon yang tak sempat saya robek di tangan nomornya persis sama dengan yang diumumkan. Saya tertawa riang dan segera menjemput hadiahnya.

Sekarang. Setelah hadiah hampir di tangan, saya teringat Pak dosen. Maklum, kupon yang saya pegang dan lupa saya buang tadi adalah kupon beliau.

Tak tunggu lama, saya bergegas mencarinya. Alasannya, saya anggap kupon itu masih miliknya. Jadi, tentu hadiahnya bukan hak saya.

Setelah bertemu dan menjelaskan apa yang terjadi, dosen tersebut terlihat gembira. Hanya satu kata terakhir yang diucapnya.
"Terima kasih ya !" Itu saja.
Saya pun berlalu.

Di jalan, logika seakan menghakimi saya. Ini kekonyolan dan tentu saja tindakan bodoh. Di zaman apapun saya hidup, ini adalah keputusan tak masuk akal. Mestinya, saya tak perlu mencari dosen tersebut. Toh, ia takkan peduli dan tidak tahu nomor undiannya akan disebut. Bahkan, semua peserta pun tak peduli lagi. Mereka anggap kegiatan sudah selesai.

Benar saja, sesampai di gerobak kopi, saya mulai kena batunya. Kawan-kawan disana punya anggapan yang sama. Bedanya, untuk mengatakan saya memang bodoh, mereka cukup melayangkan tawa.

Saya hanya membalas senyuman mereka dengan menghibur diri atas keputusan yang sulit dan terlihat dilematis ini.

" Kalau mau kaya, jangan terlalu jujur. Lambusu'nu ji nutau!"* Saya membela diri.

Mereka lagi-lagi hanya bisa tertawa.

*Hanya dengan kejujuran, kita dianggap orang!

(Musdin)



Kenapa harus shalat?




Saya bukanlah orang yang taat beragama. Meski, beberapa tahun terakhir, shalat tak pernah saya tinggalkan. Lho, bukannya dengan shalat wajib lima kali sehari adalah ciri orang yang taat dalam beragama? Jawabannya, bagi saya belum tentu.

Betul bahwa dengan menegakkan shalat tidak akan begitu saja menjadikan kita sebagai orang saleh. Itu baru menjadikan kita muslim. Muslim yang seperti apa itu adalah pilihan. Apalagi jika shalat hanya sebagai penggugur kewajiban.

Apa alasan kita melaksanakan atau tidak melaksanakan shalat? Apakah iming-iming tiket ke surga mungkin? Atau neraka adalah mimpi buruk yang tak boleh jadi kenyataan? Apakah cukup dengan shalat beban di akhirat kelak menjadi ringan? Semua pertanyaan ini boleh saja jadi alasan. Tapi bagi beberapa orang yang saya temui, surga tak serta merta dirindukan, dan neraka masih jadi misteri, itu urusan nanti!

Seringkali, saat adzan berkumandang, muncul beban, keluh, dan kemalasan. Taat itu menyiksa diri. Tidak taat, menipu diri. Sedang, bagi saya yang memilih beragama, ya harus shalat. Lebih sering menunda-nunda, alih-alih mau berjamaah. Asal sujud sudah, selesai perkara.

Karena keseringan begitu, shalat tak pernah terasa nikmat. Singkat, cepat, pura-pura tobat. Tapi, ada hal yang buat saya terkesan. Titik dimana tak semua perkara boleh dijadikan mainan. Hari itu, di masjid yang tak terlalu besar itu, penceramah bilang begini " orang yang tidak mengerjakan shalat adalah orang yang sombong". Kalimat itu begitu menyengat, sangat.

Manusia dianugerahi akal pikiran. Setidaknya, selagi shalat ditunaikan pemberian itu berubah haluan. Dari suatu yang membanggakan, menjadi hal yang memalukan. Betapa tidak, sujud membuat bagian tubuh terhina kita (anus) lebih tinggi dari otak di kepala. Apalagi yang mesti disombongkan orang yang shalat? Pangkat, kedudukan, kecerdasan, kekayaan?

Maka, bagi saya di luar dalil agama, melepas kesombongan adalah kunci agar shalat tetap tegak. Diri kita diuji dengan kerelaan merapatkan kening dan menghamba. Keegoan tak punya tempat lagi ketika semuanya tumpah di lantai sujud. Apa lagi yang mau disombongkan?

Pernah pula, saya bertanya pada kawan, apa yang membuat ia masih enggan melaksanakan shalat. Tak ada maksud menggurui tentunya. " bukankah perilaku lebih penting diperbaiki terlebih dahulu ketimbang beribadah?" kira-kira demikian ia balik bertanya. Boleh pula disederhanakan begini " buat apa sholat kalau tingkah masih biadab?".

Waduh, kalau begitu maunya, saya tak pantas shalat dong? Dan tak akan memulai shalat? Apakah ada manusia yang bebas dari kehinaan dan kesalahan? Apakah umur bisa menjamin manusia berubah dan sempurna akhlaknya? Sementara kewajiban kita, lebih banyak dari umur yang ditetapkan, berapa tahun pun kita hidup tak akan cukup.

" sesungguhnya, shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar" begitu bunyi ayat-Nya. Jika sudah shalat kemudian tak ada perubahan, boleh jadi shalatnya belum sempurna. Perbaiki dan terus perbaiki. Alim ulama bilang begitu. Pada akhirnya, dengan pelan-pelan, kesalahan akan diganti dengan kesalehan.


(Musdin Musakkir)




Tuhan Disuruh Jaga Unta?



“ Tanpa disadari, kita seringkali bersikap kurang ajar kepada Tuhan...”





Hal yang sering kita lakukan adalah membiarkan segala sesuatu terjadi bagaimanapun dampaknya nanti. Kita terlalu percaya bahwa Tuhan akan mengatur apa yang kita inginkan dengan sendirinya. Tuhan kita anggap sebagai pelayan yang akan mengerjakan seluruh kehendak kita. Parahnya, tidak jarang kita memaki dan marah saat hajat kita tidak dikabulkan-Nya. Sadar diri kah kita?

Percaya pada kehendak Tuhan yang terbaik atas usaha yang telah kita lakukan adalah salah satu dari pengertian tawakkal. Tawakkal berasal dari bahasa Arab “tawakkul” yang berarti menyerahkan atau mewakilkan. Sederhananya, dalam berusaha dan berjuang, sikap tawakkal adalah tumpuan terakhir, bukanlah dikatakan tawakkal jika sedari awal sudah berserah diri dan bergantung sepenuhnya terhadap ketentuan Tuhan tanpa merasa perlu untuk berbuat.


Semasa kecil, saya sering mendengar perdebatan di kalangan pemuda desa kami. Topik yang sering hangat diperbincangkan adalah mengenai takdir dan rezeki, tentu saja versi mereka masing –masing. Versi akal-akalan. Maksudnya, bila tidak masuk di akal, teori dapat dengan mudah dibantah. Soal takdir misalnya, ada yang bulat meyakini bahwa takdir itu murni pekerjaan Tuhan. Kita tak boleh ikut campur. Jika kita ditakdirkan sedari awal di alam roh bahwa kita akan menjadi penghuni neraka, maka tak perlu lagi kita sibuk menjalankan ibadah sesuai syariat, toh kita tetap akan menikmati kesengsaraan di akhirat kelak.

Ada lagi, yang satu ini terkait rezeki. Sekeras apapun usaha yang kita lakukan, banting tulang setiap hari, kalau rezeki sudah diatur oleh Tuhan, tetap tak akan membuat kita jadi orang kaya. Alhasil, dengan teori aneh ini mereka yakin bahwa apa yang dialami manusia adalah konspirasi Tuhan dan para malaikat. Tuhan dianggap pilih kasih soal konsep ini (rezeki). Dengan begitu, banyak yang bersikap pasrah karena sudah tidak punya harapan untuk hidup lebih baik lagi.

Tanpa disadari, kita seringkali bersikap kurang ajar kepada Tuhan Sang Pencipta. Apakah mungkin segala urusan kita dilepaskan begitu saja dengan dalih Tuhan itu serba bisa, termasuk bisa diatur? Segampang itu kah?

Diceritakan dalam sejarah, suatu ketika seorang sahabat di masa Rasulullah Muhammad SAW terlambat mengikuti salah berjamaah. Karena terburu-buru, ia langsung turun dari untanya dan segera ikut shalat berjamaah. Nabi yang mengetahui kejadian tersebut kemudian bertanya :

“ Mengapa tidak engkau ikat untamu terlebih dahulu?”
“ Saya menyerahkan segala urusannya kepada Allah (bertawakkal)”, jawab sahabat tersebut.
“ Ikat dulu untamu baru kemudian engkau bertawakkal kepada Allah”. Balas Nabi.

Dari kisah tersebut, tampak bahwa harus ada ikhtiar dahulu yang dilakukan baru kemudian memasrahkan diri pada takdir dan kehendak Ilahi. Bukan malah seolah menjadikan Tuhan seperti pelayan. Seorang khatib dalam suatu kesempatan saat khutbah Jumat mengatakan, jika perilaku kita seperti kisah sahabat di atas tadi, sederhananya, seperti kita menyuruh-nyuruh Tuhan. Masa Tuhan disuruh jaga unta? Astagfirullah!
***

Sumber rujukan arti tawakkal : www.sumberpengertian.co

Karena Ustaz Juga Manusia


Kehilangan orang yang paling disayangi memang sungguh berat dan amat memilukan jiwa. Terlebih orang yang meninggalkan kita adalah pendamping hidup yang sekian lama telah melewati suka duka, menjalani pahit getir kehidupan bersama. Kesedihan, -bagaimanapun disembunyikan- tetap saja tergambar di wajah. Siapapun, sehebat dan sekuat apapun kita, karena sedih adalah manusiawi, orang-orang di sekitar mesti memaklumi. Bahkan walau yang kehilangan itu adalah seorang Ustaz. 

Ahad, 20 Januari mungkin adalah hari memilukan bagi Ustaz Maulana, penceramah kondang yang saban hari mengisi kajian keagamaan di salah satu televisi swasta nasional. Istri tercinta meninggal dunia dengan riwayat penyakit yang telah diderita beberapa tahun lalu. Sebagai Ustaz, beliau tetaplah manusia biasa yang ketika kehilangan akan merasakan duka lara. Tak terhitung berapa banyak orang yang termotivasi, tersentuh oleh ceramah beliau. Jemaah yang sedih, jadi gembira. Mereka yang gundah, jadi semangat. Ada yang ditinggal mati keluarganya perlahan menjadi kuat dan sabar. Namun, apa yang dialami jemaah itu tidak mustahil akan dialami pula oleh beliau. Beliau bisa saja berduka, sedih atau bahkan menangis sekalipun. Tetapi, itu semua adalah bagian dari respon manusia. 

Menurut Schulz (1978), ada tiga tahapan dari proses berduka, yaitu fase awal dimana seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasaan tersebut bisa saja berlangsung beberapa hari dan memungkinkan individu tersebut kembali pada perasaan berduka berlebihan. Fase pertengahan, dimulai pada minggu ketiga dengan ditandai adanya peilaku obsesif. Perilaku yang dimaksud adalah terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi. Ketiga, adalah fase pemulihan. Di fase ini, individu mulai memutuskan untuk tidak (larut) mengenang masa lalu dan berusaha untuk tetap melanjutkan kehidupannya, berpartisipasi dalam kegiatan sosial. 

Sebagai guru, pendakwah, pembimbing spiritual, kita yakin beliau akan mampu melewati tahapan sebagaimana yang dikemukakan Schul di atas. Paling tidak, ada pelajaran berharga untuk kita ambil seperti, melatih diri untuk tetap bersabar dalam setiap keadaan. Menganggap segala musibah bisa saja menimpa diri kita, tanpa kenal waktu dan keadaan. Tetap bergaul, bersosialisasi dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terdekat lainnya juga bisa menjadi penyembuh duka.

(mm)

Hati-hati dengan Motivasimu!






Apa sebenarnya arti motivasi dan seberapa penting motivasi dalam beraktivitas sehari-hari?
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, motivasi adalah “ dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu”. Dalam dunia psikologi, motivasi adalah usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Sederhananya, motivasi akan menuntun kita pada kepuasan. Kepuasan apa? Ya, apa saja yang menjadi tujuan kita.
            Sebagai contoh, setiap hari kita bangun lebih awal untuk berangkat kerja tepat waktu. Meskipun perasaan masih mengantuk dan lumayan malas, kita tetap berusaha berangkat untuk menjalani rutinitas di kantor, atau tempat kerja. Semua itu demi mencapai kepuasan, misalnya saat mendapatkan upah atau gaji. Para petani rela berangkat di pagi buta untuk menggarap sawah demi mencari keberkahan di ladang mereka, menemukan kepuasan saat tiba masa panen. Kita, kaum pelajar juga demikian, kita bersedia menghabiskan sebagian besar waktu untuk bergumul dengan buku, berjibaku merebut ilmu, mengabaikan kesenangan-kesenangan masa muda. Itu semua, –sekali lagi- untuk mencapai kepuasan.
            Menurut Rizki Edmi Edison, pakar neurologi dari Uhamka, motivasi jika dirujuk dalam arti berbasis reward-circuit adalah dorongan untuk melakukan sesuatu agar terpenuhinya kepuasan. Boleh jadi apabila tidak terkontrol, seseorang akan mengalami adiksi. Kita akan ketergantungan secara fisik dan mental terhadap suatu zat atau benda. Dalam kasus sekarang, penggunaan gawai atau telepon pintar misalnya, hal ini mesti menjadi perhatian serius, hati-hati dengan motivasi dalam menggunakan perangkat teknologi kita.
            Seperti diketahui, smartphone atau telepon pintar merupakan perangkat yang hampir wajib dimiliki oleh semua kalangan di negeri ini. Bahkan, satu orang bisa memiliki lebih dari satu telepon seluler. Alasannya sederhana, agar tetap bisa berkomunikasi dengan teman atau kerabat di daerah lain. Tapi apakah motivasinya benar-benar hanya ingin berkomunikasi?
            Berdasarkan data dari "We Are Social and Hootsuite. Digital in 2018 in Southeast Asia: Indonesia Digital Landscape 2018" menyebutkan bahwa 67% dari jumlah penduduk Indonesia merupakan pengguna telepon pintar.  Dari data tersebut, 44 % diantaranya menggunakan telepon pintar untuk mengabadikan momen penting (mobile photography).
            Dari fakta di atas, tampak mengkhawatirkan ketika tujuan awal kita tidak sesuai dengan motivasi yang sebenarnya. Alangkah menyedihkan jika kita termotivasi untuk menyambung silaturahmi dengan sanak saudara di kejauhan sana namun pada akhirnya kepuasan yang kita dapatkan adalah kepuasan semu alias kepuasan dalam penggunaan gadget, bukan kepuasaan saat berkomunikasi.

Penulis : Musdin
Sumber gambar : Selular.ID

Belajar Dari Semut



Kawan, menjadi anak kost itu punya banyak cerita yang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Namanya juga ngontrak, pasti jauh dari keluarga. Segala kebutuhan hidup ala kadarnya saja. Apalagi untuk urusan perut, selera tidak boleh tinggi-tinggi.

Menjadi lumrah jika anak kosan seperti saya doyan makan mie instan. Itu karena keadaan yang memaksa demikian. Meski harus mengabaikan alasan kesehatan. Banyak yang bilang, terlalu sering makan mie instan akan melemahkan fungsi otak. Tapi sekali lagi, ini urusan perut kawan.
Kadang terbersit di pikiran, ingin mengunyah makanan yang berkelas, yang kuahnya mantap. Kalau saja tidak teringat pesan orang tua, boleh jadi segala cara saya lakukan untuk memenuhi keinginan yang satu ini. Beruntung, selain nasehat orang tua yang mujarab, kisah seekor semut selalu saya jadikan pelajaran berharga.

Dikisahkan, suatu hari hiduplah seorang raja yang dikenal arif dan bijaksana. Sang Raja sangat mencintai rakyatnya. Bukan hanya itu, ia juga amat menyayangi binatang. Saat berjalan-jalan keliling istana, tak sengaja ia melihat seekor semut yang dengan susah payah mengumpulkan remih roti untuk dibawa ke sarangnya. Dengan senyum yang ramah, Raja bertanya kepada semut “ Berapa banyak roti yang kamu butuhkan untuk setahun?”

“ Sepotong roti cukup untuk setahun, Paduka Raja”. Jawab Semut.

“ Kalau begitu maukah kamu ikut tinggal bersamaku? Nanti aku akan memberimu sepotong roti”.

“ Dengan senang hati, Paduka”, balas semut gembira.

Singkat cerita, Raja pun membawa semut tadi ke istana. Semut dilayani dengan baik dan dibuatkan tabung khusus yang diberi lubang agar semut tetap bisa bernafas. Tak lupa Raja memasukkan sepotong roti sesuai janjinya dahulu.

“ Jangan khawatir semut, aku akan kembali membuka tabung ini tepat setahun kemudian. Silakan nikmati makananmu sembari aku menyelesaikan tugasku mengurus kerajaan”. Kata Raja meyakinkan Semut.

Sang Raja bergegas menyelesaikan tugas-tugas kerajaan. Semua masalah diselesaikan dengan bijaksana. Tidak terasa sudah setahun ia disibukkan dengan pelbagai urusan. Teringatlah ia akan janjinya pada Semut. Segera saja ia menuju tabung yang ia simpan tidak jauh dari singgasananya.

“ Apa kabarmu Semut? Apakah keadaanmu baik-baik saja?”

“Hamba baik-baik saja, Paduka”

Setelah membuka tabung tersebut, Raja pun heran melihat roti pemberiannya setahun lalu masih tersisa setengah.

“ Kamu bilang sepotong roti cukup untukmu selama setahun. Lalu mengapa masih kau sisakan setengahnya?”, tanya Raja heran.

“ Maafkan hamba, Paduka. Saya sengaja menyisakan separuhnya karena saya khawatir baginda Raja lupa membuka tabung ini. Kalau toh Baginda lupa, saya masih punya persiapan untuk satu tahun lagi”

Dengan heran sekaligus kagum, Raja tak sungkan memuji semut yang tahu hidup berhemat. Segera Raja menyiarkan ke penjuru negeri agar rakyatnya pun mencontoh apa yang dilakukan semut. Hemat bukan berarti menyiksa diri, tapi mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi misalnya bencana, paceklik, kekeringan, dan lainnya.

Kawan, tidak perlu malu untuk mencontoh cara hidup semut yang pandai berhemat. Apalagi, sebagai anak kost, tidak bisa terlalu banyak bergantung pada orang tua. Boleh jadi, orang tua kita saat ini sedang dilanda banyak masalah keuangan. Harga panen jatuh, biaya hidup susah, dan seabrek masalah lainnya yang kita tidak ketahui. Bisa saja uang yang dikirimkan orang tua kita adalah hutang yang susah payah ia pinjam ke sanak saudara atau bahkan rentenir. Jadi, tidak ada salahnya hidup hemat selagi masih bisa belajar dengan baik di negeri orang, bukan?

(Musdin Musakkir)

Tiga Perbuatan Sepele yang Dibenci Rasulullah



Sebagai seorang muslim, tidak ada yang patut kita teladani selain Rasulullah SAW. Kita mencintai dan menjunjung tinggi ajaran yang beliau bawa. Bahkan kecintaan kita kepada Rasulullah bisa dibuktikan dari seberapa banyak amalan dan perbuatan beliau yang kita contoh. Sayangnya terkadang kita melakukan hal-hal sepele dan remeh-temeh yang ternyata tidak disadari merupakan perbuatan yang sangat dibenci Rasulullah.

Berikut tiga perbuatan yang sering disepelekan namun sangat dibenci oleh Rasulullah:

1.      Makan dengan tangan kiri

Bagi sebagian orang, makan dan minum sambil berdiri adalah sesuatu yang lumrah. Namun ternyata Rasulullah melarang kita melakukan hal tersebut. Beliau bersabda:

 “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena setan makan dengan tangan kiri” (HR. Muslim, Nomor: 2019)

2.      Hidup Melajang

Siapa bilang hidup men-jomblo itu indah? Boleh jadi kita termasuk orang yang dibenci oleh Rasulullah. Sebabnya adalah Nabi tidak menyukai orang yang hidupnya telah mapan dan berkecukupan tetapi betah hidup sendiri. Nabi SAW  bersabda:

"Barang siapa yang tidak segera mencari pendamping hidup (istri atau suami) maka dia bukanlah umatku(HR Abu Dawud)

Jadi, kalau sudah merasa cukup mapan dan mantap untuk berkeluarga, jangan ditunda-tunda lagi, yah!

3.      Menggunjing

Menggunjing atau sering disebut menggosip sebagian besar dianggap lumrah oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Tayangan-tayangan hiburan di televisi yang dikemas secara menarik (infotainment) seringkali mengumbar dan menceritakan sisi negatif para publik figur. Meski terlihat biasa tapi lagi-lagi hal ini sangat dibenci oleh Rasulullah. Beliau bersabda:

"Di akhirat akan ada golongan yang suka memakan bangkai saudaranya yang telah mati  dan para sahabat bertanya siapa mereka itu Ya Rasulullah?  Rasulullah menjawab mereka adalah orang-orang yang suka menggunjing saudaranya sendiri"

 Jadi, menjaga nama baik saudara-saudara kita itu harus kita lakukan agar menjadi umat  Nabi yang terbaik.



Mengutuk Buku

Sumber Gambar: google.com


Lihatlah sekarang, “anak-anak zaman” berlomba-lomba mendongkrak harga diri dengan semacam pencitraan berlabel literasi. Katanya, semua sudah melek literasi. Tapi, entah karena kesadaran bosan mendekat atau memang tak pernah lahir, sekonyong-konyong semua orang telah puas hanya dengan membaca beberapa lembar buku sehari. Mirisnya, tak ada yang terbenam di otak. Ini adalah awal bagi generasi yang gemar mengutuki buku. Buku dipaksa kusut di waktu-waktu senggang dan dibujuk untuk mengerti saat si empunya tidak cukup mapan menahan kemelaratan ilmu. Buku sekedar pelampiasan dari stigma negatif  “kurang pintar” yang disematkan pada kaum udik, tak terdidik, tak pernah tersentuh petuah adat.
Bisa saja, orang mendapati pencerahan sebaris-dua baris dari buku yang ia baca. Toh, itulah sebagian besar tujuan orang-orang membaca. Boleh juga, orang bahagia dan dibuat sumringah lantaran berdialog dengan novel-novel masyhur, motivatif, inspiratif, atau senang bukan kepalang sebab referensi yang dicari telah dipergoki. Ini mutlak dirasakan. Lalu, apa hal lain yang membuat buku bak anak tiri? Tentu karena ada saatnya buku-buku hanya akan jadi pajangan, tontonan, layaknya model : berdesakan, bersikut-sikutan di rak-rak yang penuh debu.
Juga akan ada masa buku-buku kita telantarkan. Itu memalukan. Seorang saintis yang sehari-hari memelototi buku akan jenuh. Ia punya keinginan lain. Buku itu membuatnya mual. Teori-teori yang disajikan tak relevan lagi. Itukah akhir tragis dari kecanduan buku?
Termasuk juga kita mengutuki buku ketika kebenaran yang sebelumnya diyakini dan tersusun rapih dalam paragraf-paragraf dikhianati. Kebenaranya dianggap usang, perlu diperbaiki. Lihatlah, buku atau kitab teragung kaum Muslim (baca:Alquran) kini diyakini secara parsial. Seruan-seruan kebenaran harus dipilah-pilah terlebih dahulu. Jika ada perintah yang di-firmankan di sana namun tak sesuai hasrat kita, bisa saja ditentang. Celakalah kita, mengutuki firman-firman Tuhan.
Baca Buku: Mengenang Penulisnya
Sering muncul ungkapan, “ menulislah, maka engkau akan abadi”. Sesederhana itu. Maka, siapapun penulis buku, dimanapun ia berada kini, jelaslah namanya dipelihara oleh ilmu pengetahuan. Teks-teks tersebut adalah ujaran, perkataan mereka yang diabadikan. Mereka pun tak dapat menarik kata-katanya tersebut. Apalagi mengutukinya. Kita harus sepakat dengan ucapan mereka itu. Sadarkah kita, sebenarnya selama ini kita cenderung bertumpu pada gagasan dan teori-teori para penulis tersebut. Kita mengagumi mereka dengan cara kita sendiri. Suka atau tidak, nama mereka dikenang.
Buku Menyembuhkan Jiwa
Ribuan tahun silam, di zaman Yunani kuno, buku dianggap dapat menyembuhkan jiwa ( healing the soul). Siapa saja dapat dengan mudah meluapkan kegundahan hati dengan membaca buku. Di zaman itu, buku telah menjadi alat terapi. Plato, seorang filsuf, di zamannya menganjurkan agar kisah-kisah dan cerita yang diperdengarkan kepada anak-anak ketika itu dipilah. Tujuannya, kurang lebih agar anak-anak tersebut dapat mencapai usia kematangan berpikir dengan lebih baik. Di zaman sekarang, buku adalah obat anti-galau. Orang dapat tersentuh hanya karena curhat dengan buku. Betapa buku dapat meringankan beban kejiwaan.
Kita Dikutuk oleh Buku
Kita kadang durhaka. Itu sebabnya, pada gilirannya buku secara berganti-ganti mengutuk pembacanya. Saat hilang harapan, hilang pengetahuan, motivasi tumbang, orang-orang mencari buku. Bercerita perihal keluh kesahnya dengan buku. Buku kemudian memberinya wejangan berulang-ulang. Tak ada ucapan terima kasih yang diharapnya keluar dari mulut pembaca. Sinopsis-sinopsis itu hanyalah gosip atau bonus. Namun, saat kegembiraan menghampiri, buku ibarat sendal jepit. Murah dan terinjak-injak. Setelah itu, ditelantarkan.
Berdamai dengan Buku

Kita cinta buku, sayang buku, butuh buku, tak bisa hidup tanpa buku. Tak bisa melakukan apa-apa tanpa kehadiran buku, tak tahu arah saat buku raib. Semua itu, semua alasan itu sudah cukup jelas untuk membuat kita berdamai dengan buku. Menyesali kejahatan kita pada buku. Memohon agar buku dengan senang hati menjadi penasehat pribadi kita. Menjadi “orang” terdekat kita. Menjadi perlambang betapa tak terbatasnya petuah ilmu pengetahuan. Berdamailah dengan buku! (Didink)

September: Mati Kutu !


Ketika menulis sudah berani kita sebut sebagai hobi, harusnya tak ada lagi apologi untuk menganggur dan menjauh dari pena dalam sehari. Menulis mestinya pernah sekali, dua kali disalurkan dalam sehari. Entah itu saat jeda istirahat siang, sore hari, atau pasca makan malam. Bagi penulis, akan ada saja sesuatu yang menarik untuk diulik setiap hari. Sayangnya, saya yang berikrar untuk menjadi penulis, di pertengahan September ini sebijipun tak tampak judul baru di blog pribadi saya.
Alangkah memilukan! Sebut saja begitu karena pada kenyataannya beberapa bulan ke belakang, kolaborasi jemari saya dengan pena begitu aktif menulis. Lagipula, merujuk kepada kebiasaan para penulis yang betul-betul layak disebut penulis, fenomena apapun  yang ada di sekitarnya sangat mudah dijadikan bahan tulisan, kajian atau renungan. Saya pun  merasa bersalah dan sedikit memaki diri sendiri karena terlalu banyak menyia-nyiakan waktu. Wajar jika saya sebut keadaan ini sangat memilukan.
Ada beberapa penyebab yang membuat target-target menulis saya meleset sehingga postingan blog terbengkalai, diantaranya adalah ketergantungan pada perangkat mobile atau gadget. Sadar atau tidak sadar, pengaruh telepon pintar yang memuat banyak aplikasi sangat mudah mengalihkan kita dari buku. Koneksi internet yang memungkinkan perangkat mengakses berita dan informasi dengan praktis dan sajiannya variatif  mengancam bacaan konvensional. Dan itu telah sukses terjadi. Saya cenderung betah berlama-lama menghadap layar handphone daripada bercengkerama dengan buku.
Selanjutnya, ada situs berbagi video: Youtube.com, yang mampu menghipnotis dan menghilangkan nafsu membaca. Bahkan, kehadiran situs milik perusahaan raksasa Google tersebut lebih menyita waktu karena kebanyakan durasi video antara 3 menit hingga 15 menit. Itu adalah rata-rata durasi versi video pendek. Belum lagi unggahan film, informasi, berita, dan hiburan lainnya yang juga sudah bisa dinikmati di situs ini.
Apa yang terjadi kali ini seharusnya menjadi pelajaran berharga. Saya pun mengiyakan bahwa konsistensi mutlak dibutuhkan untuk bisa menjadi penulis profesional. Pada tahap ini, saya belum beranjak dari status pembelajar. Penulis sendiri adalah mereka yang senantiasa meluangkan waktunya untuk mengamati, mengkaji serta meramu solusi dari masalah-masalah di sekitarnya. Mereka itulah yang layak disebut penulis. Suatu hal yang menyedihkan yaitu saya tidak sedikitpun –akibat ulah saya membuang-buang waktu- patut disejajarkan dengan para penulis itu. Kata yang masih mungkin diterima adalah : Belum bisa!

Mati kutu di bulan September! Demikianlah keadaan dan kenyataan yang saya hadapi sekarang. Sekedar menghibur diri sendiri, sepakati saja bahwa: Ini belum terlambat! Atau kata: Jangan diulangi lagi, menulis memang butuh perjuangan! Atau: Bangkit dan mulailah kembali!

Amanah, Bikin Gelisah!

Pidato Ibtitah Ketua Umum HIMA BK Periode 2017-2018

Jika ada sesuatu yang diberikan kepada saya tapi tidak dapat membuat bahagia, jadi susah tidur, berpikir siang malam, kerja keras, itu tidak lain adalah AMANAH.
Sering saya dapati, orang-orang di luar sana, begitu sumringah jika disodori jabatan atau kedudukan. Seakan meluapkan kegembiraan yang teramat sangat. Seperti merayakan keberhasilan dalam memenangkan suatu pertempuran. Terpilih berarti menang dalam segala hal meski tidak peduli dengan konsekuensi yang siap menanti di depan.
Manusia diberikan kemuliaan yang lebih dimana ia memiliki otoritas untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Sebagai muslim, saya pun meyakini tugas tersebut tidak lain karena manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya dan punya kecenderungan melakukan “pekerjaan” Tuhan.
Di sisi lain, kita patut berpikir lebih jauh, mengapa sampai malaikat -makhluk yang sepanjang masa bertasbih mengagungkan Tuhan- bertanya perihal penciptaan manusia plus mandat menjadi khalifah dan mengelola bumi (Q.S. Al-Baqarah:30). Apakah malaikat meragukan kepemimpinan manusia? Atau bahkan telah punya pengetahuan yang tergambar dari dialog dengan Tuhan di ayat yang sama bahwa manusia kelak akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah? Benarkah ada kecenderungan manusia mengkhianati amanah yang diberikan?
Terlebih lagi, belum lama ini saya menjadi orang yang mendapat giliran meneruskan amanah yang ditinggalkan oleh pengurus lama sebuah lembaga kemahasiswaan, membuat saya terus membayangkan bagaimana para pemimpin di daerah menjalankan amanahnya selama ini? Padahal Organisasi tempat saya mengabdi sekarang hanyalah miniatur dari urusan melayani? Bagaimana mereka yang melayani ribuan masyarakat yang beragam?Tak ada niat untuk mundur meski sejak awal sudah meyakini semua tidak akan berjalan dengan mudah. Hal inilah yang menjadi kegelisahan saya. Betapa manusia begitu mudahnya menerima amanah.
Akhirnya, ayat 72 pada surah Al-Ahzab dalam Al-Qur’an Karim betul-betul membungkam saya. Pernah saya tanyakan pada seorang 'alim mengapa ayat itu gamblang menyebut manusia begitu zhalim dan amat bodoh? “Tentu saja karena manusia teramat mudah menerima sesuatu yang belum tentu bisa diembannya” jawabnya.
Maka, bukanlah amanah itu membuat manusia serta merta berkuasa dan menduduki tempat yang mulia. Bukan juga amanah itu barang mainan yang bisa diletakkan begitu saja jika tak lagi memberikan kenyamanan.
Amanah adalah kepercayaan. Kepercayaan ibarat mutiara yang tidak semua orang punya kesempatan menggenggamnya. Genggaman yang lemah dan ceroboh bisa membuat kepercayaan itu jatuh dan hilang tak kembali lagi.
Siapapun kita, siapkah menerima Amanah? Relakah kerja keras siang-malam dan jauh dari selimut yang membuai? Jika anda bukan atheis dan percaya akan adanya negeri akhirat, percayalah Allah akan selalu membimbing kita. Insha Allah!
Powered by Blogger.

Terpopuler

Kategori