Mengutuk Buku | Kopilogi
Responsive Banner design
Home » » Mengutuk Buku

Mengutuk Buku

Sumber Gambar: google.com


Lihatlah sekarang, “anak-anak zaman” berlomba-lomba mendongkrak harga diri dengan semacam pencitraan berlabel literasi. Katanya, semua sudah melek literasi. Tapi, entah karena kesadaran bosan mendekat atau memang tak pernah lahir, sekonyong-konyong semua orang telah puas hanya dengan membaca beberapa lembar buku sehari. Mirisnya, tak ada yang terbenam di otak. Ini adalah awal bagi generasi yang gemar mengutuki buku. Buku dipaksa kusut di waktu-waktu senggang dan dibujuk untuk mengerti saat si empunya tidak cukup mapan menahan kemelaratan ilmu. Buku sekedar pelampiasan dari stigma negatif  “kurang pintar” yang disematkan pada kaum udik, tak terdidik, tak pernah tersentuh petuah adat.
Bisa saja, orang mendapati pencerahan sebaris-dua baris dari buku yang ia baca. Toh, itulah sebagian besar tujuan orang-orang membaca. Boleh juga, orang bahagia dan dibuat sumringah lantaran berdialog dengan novel-novel masyhur, motivatif, inspiratif, atau senang bukan kepalang sebab referensi yang dicari telah dipergoki. Ini mutlak dirasakan. Lalu, apa hal lain yang membuat buku bak anak tiri? Tentu karena ada saatnya buku-buku hanya akan jadi pajangan, tontonan, layaknya model : berdesakan, bersikut-sikutan di rak-rak yang penuh debu.
Juga akan ada masa buku-buku kita telantarkan. Itu memalukan. Seorang saintis yang sehari-hari memelototi buku akan jenuh. Ia punya keinginan lain. Buku itu membuatnya mual. Teori-teori yang disajikan tak relevan lagi. Itukah akhir tragis dari kecanduan buku?
Termasuk juga kita mengutuki buku ketika kebenaran yang sebelumnya diyakini dan tersusun rapih dalam paragraf-paragraf dikhianati. Kebenaranya dianggap usang, perlu diperbaiki. Lihatlah, buku atau kitab teragung kaum Muslim (baca:Alquran) kini diyakini secara parsial. Seruan-seruan kebenaran harus dipilah-pilah terlebih dahulu. Jika ada perintah yang di-firmankan di sana namun tak sesuai hasrat kita, bisa saja ditentang. Celakalah kita, mengutuki firman-firman Tuhan.
Baca Buku: Mengenang Penulisnya
Sering muncul ungkapan, “ menulislah, maka engkau akan abadi”. Sesederhana itu. Maka, siapapun penulis buku, dimanapun ia berada kini, jelaslah namanya dipelihara oleh ilmu pengetahuan. Teks-teks tersebut adalah ujaran, perkataan mereka yang diabadikan. Mereka pun tak dapat menarik kata-katanya tersebut. Apalagi mengutukinya. Kita harus sepakat dengan ucapan mereka itu. Sadarkah kita, sebenarnya selama ini kita cenderung bertumpu pada gagasan dan teori-teori para penulis tersebut. Kita mengagumi mereka dengan cara kita sendiri. Suka atau tidak, nama mereka dikenang.
Buku Menyembuhkan Jiwa
Ribuan tahun silam, di zaman Yunani kuno, buku dianggap dapat menyembuhkan jiwa ( healing the soul). Siapa saja dapat dengan mudah meluapkan kegundahan hati dengan membaca buku. Di zaman itu, buku telah menjadi alat terapi. Plato, seorang filsuf, di zamannya menganjurkan agar kisah-kisah dan cerita yang diperdengarkan kepada anak-anak ketika itu dipilah. Tujuannya, kurang lebih agar anak-anak tersebut dapat mencapai usia kematangan berpikir dengan lebih baik. Di zaman sekarang, buku adalah obat anti-galau. Orang dapat tersentuh hanya karena curhat dengan buku. Betapa buku dapat meringankan beban kejiwaan.
Kita Dikutuk oleh Buku
Kita kadang durhaka. Itu sebabnya, pada gilirannya buku secara berganti-ganti mengutuk pembacanya. Saat hilang harapan, hilang pengetahuan, motivasi tumbang, orang-orang mencari buku. Bercerita perihal keluh kesahnya dengan buku. Buku kemudian memberinya wejangan berulang-ulang. Tak ada ucapan terima kasih yang diharapnya keluar dari mulut pembaca. Sinopsis-sinopsis itu hanyalah gosip atau bonus. Namun, saat kegembiraan menghampiri, buku ibarat sendal jepit. Murah dan terinjak-injak. Setelah itu, ditelantarkan.
Berdamai dengan Buku

Kita cinta buku, sayang buku, butuh buku, tak bisa hidup tanpa buku. Tak bisa melakukan apa-apa tanpa kehadiran buku, tak tahu arah saat buku raib. Semua itu, semua alasan itu sudah cukup jelas untuk membuat kita berdamai dengan buku. Menyesali kejahatan kita pada buku. Memohon agar buku dengan senang hati menjadi penasehat pribadi kita. Menjadi “orang” terdekat kita. Menjadi perlambang betapa tak terbatasnya petuah ilmu pengetahuan. Berdamailah dengan buku! (Didink)

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Terpopuler

Kategori