Pidato Ibtitah Ketua Umum HIMA BK Periode 2017-2018 |
Jika ada sesuatu yang diberikan kepada saya tapi tidak dapat membuat bahagia, jadi susah tidur, berpikir siang malam, kerja keras, itu tidak lain adalah AMANAH.
Sering saya dapati, orang-orang di luar sana, begitu sumringah jika disodori jabatan atau kedudukan. Seakan meluapkan kegembiraan yang teramat sangat. Seperti merayakan keberhasilan dalam memenangkan suatu pertempuran. Terpilih berarti menang dalam segala hal meski tidak peduli dengan konsekuensi yang siap menanti di depan.
Manusia diberikan kemuliaan yang lebih dimana ia memiliki otoritas untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Sebagai muslim, saya pun meyakini tugas tersebut tidak lain karena manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya dan punya kecenderungan melakukan “pekerjaan” Tuhan.
Di sisi lain, kita patut berpikir lebih jauh, mengapa sampai malaikat -makhluk yang sepanjang masa bertasbih mengagungkan Tuhan- bertanya perihal penciptaan manusia plus mandat menjadi khalifah dan mengelola bumi (Q.S. Al-Baqarah:30). Apakah malaikat meragukan kepemimpinan manusia? Atau bahkan telah punya pengetahuan yang tergambar dari dialog dengan Tuhan di ayat yang sama bahwa manusia kelak akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah? Benarkah ada kecenderungan manusia mengkhianati amanah yang diberikan?
Terlebih lagi, belum lama ini saya menjadi orang yang mendapat giliran meneruskan amanah yang ditinggalkan oleh pengurus lama sebuah lembaga kemahasiswaan, membuat saya terus membayangkan bagaimana para pemimpin di daerah menjalankan amanahnya selama ini? Padahal Organisasi tempat saya mengabdi sekarang hanyalah miniatur dari urusan melayani? Bagaimana mereka yang melayani ribuan masyarakat yang beragam?Tak ada niat untuk mundur meski sejak awal sudah meyakini semua tidak akan berjalan dengan mudah. Hal inilah yang menjadi kegelisahan saya. Betapa manusia begitu mudahnya menerima amanah.
Akhirnya, ayat 72 pada surah Al-Ahzab dalam Al-Qur’an Karim betul-betul membungkam saya. Pernah saya tanyakan pada seorang 'alim mengapa ayat itu gamblang menyebut manusia begitu zhalim dan amat bodoh? “Tentu saja karena manusia teramat mudah menerima sesuatu yang belum tentu bisa diembannya” jawabnya.
Maka, bukanlah amanah itu membuat manusia serta merta berkuasa dan menduduki tempat yang mulia. Bukan juga amanah itu barang mainan yang bisa diletakkan begitu saja jika tak lagi memberikan kenyamanan.
Amanah adalah kepercayaan. Kepercayaan ibarat mutiara yang tidak semua orang punya kesempatan menggenggamnya. Genggaman yang lemah dan ceroboh bisa membuat kepercayaan itu jatuh dan hilang tak kembali lagi.
Siapapun kita, siapkah menerima Amanah? Relakah kerja keras siang-malam dan jauh dari selimut yang membuai? Jika anda bukan atheis dan percaya akan adanya negeri akhirat, percayalah Allah akan selalu membimbing kita. Insha Allah!
0 komentar:
Post a Comment