(In) Toleransi? Selamat Berpikir! | Kopilogi
Responsive Banner design
Home » » (In) Toleransi? Selamat Berpikir!

(In) Toleransi? Selamat Berpikir!



Membahas toleransi secara detail bukan perkara mudah. Sebab saya bukanlah ahli agama, pegiat sosial, atau seorang fanatik. Saya tak punya kapasitas untuk menetapkan suatu keadaan atau peristiwa sebagai tindakan intoleran. Saya hanya meyakini bahwa toleransi muaranya kepada perilaku, bukan sekedar ngaku-ngaku.

Seperti pendapat Djohan Efendy, toleransi menurutnya adalah sikap menghargai terhadap kemajemukan. Tentunya, bukan hanya sekedar mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain. Tapi, juga terlibat pada upaya mengetahui dan memahami adanya kemajemukan.

Entah sejak kapan isu intoleransi mengutak atik negeri ini. Apakah karena keragaman budaya dan agama sehingga praktik dan paham  yang tidak toleran mudah menjamur? Sangat menyedihkan bila agama yang punya nilai sakral, pengikutnya sengaja diadu domba satu dengan yang lain. Kita tahu, isu agama sangat mudah menyulut api pertikaian.

Lebih celakanya, isu-isu semacam ini justru digoreng dan dipertontonkan di ranah publik. Para tokoh yang ngaku "paham" agama membuat dalil dan definisi sendiri. Seolah, tidak ada lagi tempat untuk ber-Bhinneka Tunggal Ika di negeri ini. Padahal jauh di pelosok yang kurang disentuh media, masyarakat tak begitu tahu arti toleransi. Tapi sikap mereka, perilaku yang ditunjukkan, nilai yang diperlihatkan, jauh melampaui definisi toleransi.

Enrekang, daerah yang berbatasan langsung dengan Tana Toraja, punya banyak cerita yang tak habis dibagi bila mau bicara toleransi. Masyarakat Enrekang, khususnya wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja, telah lama hidup berdampingan dengan damai. Mesjid dan Gereja lumrah bersebelahan. Bahkan, ada banyak keluarga yang hidup serumah, dengan agama yang berbeda.

Hebatnya, agama bagi mereka bukan hal yang rendahan untuk jadi alasan tidak saling mengasihi. Agama, bukan pula barang mainan yang boleh dicampur aduk seenaknya hanya untuk melanggar nilai-nilai yang diyakini oleh para penghuni rumah.

Tana Toraja sendiri, dengan penduduk mayoritas beragama Kristen, mampu menunjukkan nilai toleransi tingkat tinggi. Sebagai contoh, tahun 2019, Kabupaten yang dikenal dengan sebutan Bumi Lakipadada ini menjadi tuan rumah Seleksi Tilawatil Qur'an dan Hadist (STQH) ke-31 tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Di Kota Makale, tempat digelarnya kegiatan, menjadi surga bagi keberagaman. Tak ada yang peduli soal isu-isu intoleransi.

Apa yang terjadi di sana (Tana Toraja) bukan hal remeh-temeh. Agama memang urusan privat bagi para pemeluknya, namun apakah sebagai muslim, peserta yang hadir akan berkompetisi di dalam gereja? Apakah selaku tuan rumah, kaum Nasrani wajib hadir dalam kegiatan untuk mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran demi menghargai tamu? Tentu saja tidak.

Setiap orang hendaknya menghargai dan menjaga kemerdekaan orang lain untuk menjalankan agamanya, demikian pandangan Cak Nun menyoal toleransi beragama. Banyak yang paham soal ini. Banyak pula yang buta definisi, tapi soal saling menghargai, tak perlu lagi diajari.

Beberapa tahun belakangan, soal semacam boleh tidaknya mengucapkan selamat hari raya bagi saudara kita yang Nasrani, menjadi kebisingan yang merusak akhir tahun. Bagi saya, yang memang tak pernah mengucapkannya, bukan karena tidak punya kesetiakawanan sosial. Lagi pula, saudara kita yang beda keyakinan, tak pernah menuntut diberi ucapan selamat, alih-alih kado.

Mari mulai berpikir. Daripada sibuk mengurusi keyakinan orang lain, mungkin lebih baik kita belajar mendalami agama kita sendiri. Ini lebih penting ketimbang sibuk bertengkar soal intoleransi yang tak kelihatan ujungnya di mana. Hal yang tidak kalah penting, bagaimana saudara kita beribadah di hari rayanya dengan suasana yang aman. Jauh dari kegaduhan dan tanpa gangguan. Selamat Berpikir!

(Musdin Musakkir)







0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Terpopuler

Kategori