Mahasiswa diidentikkan sebagai agen perubahan ( Agent of Change). Bahkan, tidak sedikit juga yang berekspektasi bahwa mereka nantinya akan menjadi pemimpin terhadap perubahan itu sendiri ( Leader of Cange). Perubahan dalam segala aspek kehidupan. Karenanya, di perguruan tinggi, mereka ditempa untuk mumpuni dalam pendidikan, konsisten melakukan penelitian, serta siap berkarya dan mengabdi kepada masyarakat. Kita mengenal tiga bentuk kegiatan tersebut sebagai trilogi perguruan tinggi.
Dengan peran yang disandang itulah, mahasiswa secara terbuka dan sadar mengakui dirinya sebagai penyambung lidah rakyat. Maka apapun gerakan dan tindak tanduknya, mesti senantiasa dipersembahkan untuk kepentingan rakyat.
Namun, dengan kenyataan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat, kaum intelektual dan akademis -mahasiswa- mengalami kemunduran perlahan-lahan dalam pergerakannya. Panas dingin demokrasi mengikis idealisme mahasiswa. Meski tidak sampai seluruhnya, tapi tetap membuat harapan jadi surut. Langkahnya kalah cepat dari tuntutan zaman yang kian menghimpit.
Sejak keberhasilan mahasiswa menumbangkan rezim orde baru tahun 1998, hingga kini masih belum ada lagi gerakan yang kembali menegaskan bahwa mahasiswa konsisten dan peduli menyuarakan keluhan dan uneg-uneg rakyat. Nyatanya, dalam kurun waktu belasan tahun tersebut, kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya berada pada jalur yang monoton, tidak berubah signifikan dan membosankan. Dan, pada aspek ekonomilah hal tersebut lebih banyak mengharapkan kekuatan gerakan mahasiswa untuk tampil kembali.
Ketidakstabilan ekonomi sangat terasa dampaknya terutama pada kenaikan harga bahan pokok. Biaya-biaya pelayanan kesehatan justru meningkat plus sistem layanan yang amburadul. Tentu saja, kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian melebar.
Sederet persoalan kehidupan terkini di atas, harusnya mengantarkan kita pada upaya menagih konsistensi gerakan mahasiswa.
Pertanyaannya adalah mengapa harus berharap banyak kepada mahasiswa? Bukankah lebih baik jika to the point saja ke wakil rakyat yang dengan sumringah telah banyak berjanji kepada para pemilih yang mencoblos tiap lima tahun di bilik suara? Atau kepada para pemimpin di daerah dan pusat yang dengan bangga meladeni debat kandidat pasangan calon dari kubu lain? Jawaban dari itu semua kembali kepada peran dan posisi mahasiswa itu sendiri. Sebagai akademisi, yang nyaris suci dan dengan idealisme tinggi, merekalah yang masih bisa mengenggam mimpi kita, para rakyat jelata.
Tapi, gerakan mahasiswa sebagian sudah tidak lagi konsisten seperti awalnya,
memberikan tamparan bagi rakyat dan tentu saja pesismisme kian berlarut. Ada pemikiran lain yang mencoba menggerogoti idealisme mereka. Keikhlasan membela hak rakyat dengan jalan audiensi, diskusi, hingga serbuan kritik terhadap kebijakan yang semena-mena menjadi melemah, tak berkutik. Memang sangat disayangkan jika pragmatisme benar-benar bersemayam secara sembunyi-sembunyi di benak mahasiswa. Membuat mereka begitu mudah untuk dirayu sehingga lebih memilih kepentingan sesaat. Menjadikan gerakannya melambat dan serba memakai isyarat. Isyarat konglomerat, pejabat atau bahkan dari para penjilat negara sekaligus sebagai jawara pengkhianat.
Hipotesis yang bisa diumbar adalah sudah sedemikian kerasnyakah kehidupan untuk melanjutkan pendidikan atau boleh jadi ingin cepat-cepat mendapatkan gelar? Jika benar, hal ini akan membuat mahasiswa kehabisan akal dan cenderung serba transaksional. Peluang tentu saja sangat dekat dengan uang. Mudah-mudahan – sekali lagi- tidak mengurung seluruh mahaasiswa.
Masalah lain yang bisa jadi momok bagi rakyat atas harapan mereka kepada mahasiswa adalah apatisme dalam pemikiran dan tindakan. Apatisme bagi kaum akademisi berpotensi mengikis sisi humanisme dalam nalar dan gerakan murni mahasiswa. Tidak ada lagi kepedulian secara ideologi bahkan secara sosial kepada rakyat. Mungkin saja pemikiran seperti itu akan lebih menyakitkan hati ketimbang janji-janji politis pemerintah yang jauh dari nyata.
Pada akhirnya, mahasiswa perlu menyadari betapa pentingnya ia dipercaya menjadi agen oleh rakyat. Dan tentu, gerakan bermartabatlah yang bisa disodorkan, buka gerakan merusak, tetapi bukan juga gerakan yang mudah mundur dalam sekali gertak. Karena, selain berperan sebagai agen perubahan sebagaimana harapan dan ekspektasi kita di awal, mahasiswa kelak dan pasti akan menapaki peran dan tugas yang lebih berat lagi, mereka akan menjadi pemimpin perubahan itu sendiri. Insha Allah!