Dalam diam dan letih sepanjang hari beraktifitas, saya sempat berkelakar bahwa saya agak rabun jauh. Dengan kacamata yang terasa berat di hidung, kadang-kadang repot dibuatnya, saya masih bisa membedakan mana hitam dan putih. Masih jelas antara merah dan biru. Bahkan, sungguh bisa menunjuk saat ditanya mana warna ungu dan mana yang kuning*.
Adakah masalah dengan warna sehingga saya menyinggungnya di awal? Tentu saja. Belum lama saya terusik meski berharap bukan hanya saya saja mahasiswa yang merasa kecewa. Awal bulan April kemarin, kampus saya mengadakan kuliah umum di sela-sela jadwal kuliah. Seperti biasa, setiap kegiatan seperti itu pemateri yang diundang adalah mereka yang kompeten di bidangnya. Tidak salah, karena pemateri tersebut sangat memiliki kualifikasi dan kualitas skala nasional. Beliau adalah tokoh daerah sekaligus tokoh nasional.
Lalu apa yang membuat saya sampai harus gusar? Tentu bukan pada pemateri dan tema yang diangkat tetapi sikap pimpinan kampus yang seperti “ mencari muka” dalam situasi seperti ini. Bahkan dengan bangga, spanduk yang terpampang di podium menyertakan logo salah satu partai politik yang tidak lain adalah partai pengusung pemateri selaku bakal calon gubernur Sulawesi Selatan.
Tentu hal inilah yang membuat saya tidak sepakat dan memilih memboikot acara tersebut. Di grup kampus, saya menyampaikan kritikan sekaligus keberatan dengan hal tersebut. Bukan grup namanya jika tidak ada yang menimpali atau berkomentar. Salah satunya membuat saya tidak habis pikir. Seorang yang sudah jauh keliling menimba ilmu dan banyak makan asam garam di lingkungan kampus serta organisasi dengan serta merta menanggapi. Menyarankan saya agar menkaji lebih dulu apa yang saya tulis plus sindiran bahwa apa yang saya sampaikan di grup kampus tersebut tidak punya fondasi. Statement saya seolah-olah hanya luapan emosi mahasiswa labil yang hanya bisa protes dan sok idealis.
Melalui hak jawab saya tanpa berupaya merendahkan siapapun, saya membatin. Mengenang kembali apa yang pernah saya alami beberapa tahun silam. Tepatnya, pada 2014 lalu saat pilpres ( pemilihan presiden,-red) digelar. Saya termasuk salah satu anggota KPPS ( Kelompok Panitia Pemungutan Suara) yang meski sedikit, harus punya pengetahuan mengenai aturan dan tata tertib pemilu.
Penjelasan dari UU Pemilu No. 8 Tahun 2012 ( pasal 86 ayat 1 poin h) menjadi pijakan sekaligus fondasi yang saya gunakan atas tuduhan tak berdasar sang komentator. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa dalam melakukan kampanye, dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Selain itu, ada larangan terhadap partai politik melakukan semua kegiatan di lingkungan kampus. Karena sangat jelas, pemateri bukan hanya hadir sebagai pribadi dan tokoh nasional yang konsen pada pendidikan, melainkan datang sebagai bakal calon yang diusung lengkap dengan embel-embel/logo di spanduk serta iring-iringan tim sukses atau petugas partai.
Menyadari kampus adalah lingkungan pendidikan dengan nuansa akademis yang harus tetap dijaga, itulah alasan saya mengeluarkan statement tersebut. Lepas dari segala kepentingan yang ada atau faktor ke-tidak-sengaja-an. Saya sebagai mahasiswa, menikmati jiwa yang bebas dan merdeka. Saya lebih baik ditindas secara fisik, ketimbang harus ditindas dengan kesempitan pemikiran. Harus tetap berpikir normal tapi kerap berpikir irrasional dalam situasi yang juga tidak normal.
Powered by Blogger.