Image by: www.google.com |
Menulis memang butuh kesabaran. Ketika kecil, saya sangat tertarik menulis segala hal yang membuat saya penasaran atau kesal. Ketika itu, buku diary begitu top dan hampir dimiliki oleh setiap murid yang tergolong kaya ketika itu. Dengan uang hasil kerja dan menabung yang saya sisihkan, saya pun berniat membeli sebuah buku diary. Model dan warna tidak jadi masalah. Toh, tetap saja namanya buku diary, sudah bisa menulis pengalaman dan curhat sehari hari itu sudah membuat hati senang bukan main.
Dengan keluguan dan kepolosan masa kanak-kanak, saya mulai menulis segala apa yang terlintas di pikiran dan apa yang saya alami. Tidak mudah memang, karena kata-kata yang muncul dan tertuang tidak begitu efektif dan malah terkesan lucu. Amatiran ala anak-anak mulai menjangkiti tulisan itu, sehingga keadaan tersebut sampai juga pada saat menulis surat.
Perlu diketahui, untuk seumuran saya, ketika itu, surat menjadi hal yang mewah dan menjadi trend ketika itu. Saya pernah berpikir bahwa menulis buah pikiran dan menuangkan perasaan ke secarik kertas itu lumayan sulit. Harus menulis kata apa, pemakaian kalimat yang bagaimana, diksinya seperti apa. Sehingga tulisan-tulisan saya seperti tidak punya maksud dan tujuan. Tidak jelas apa yang ingin saya sampaikan. Saya tidak tahu dari mana mengambil suatu ide, mengolahnya menjadi bahan bacaan, karena tidak tahu. Yang paling sering ketika guru menyuruh kita menuliskan pengalaman saat liburan. Itulah kesempatan untuk mengarang.
Karena kejadian-kejadian yang dialami saat liburan justru hal-hal yang konyol, makin susahlah saya menulis secara efektif. Sampai saat saya menulis cerita ini, bingung harus mengatakan apa? Memang susah untuk menulis. Tapi tak ada salahnya untuk terus mencoba. Paling tidak tulisan ini sudah jadi saksi suatu hari nanti. Mari menulis! (MM).