Kopilogi
Responsive Banner design

Lambusu'nu ji nutau!


Pukul 6.30 pagi saya sudah siap siap. Sejak beberapa bulan, tak pernah secepat ini. Maklum, hari ini saya punya tugas meliput kegiatan jalan santai yang diadakan kampus tempat saya kuliah. Pikir saya, sekalian ikut jadi peserta. Lumayan kalau beruntung bisa dapat sepeda.

Tak sampai lima menit, saya sudah berada di pelataran Patung Sapi, ruang publik yang jadi salah satu ikon Kota Enrekang. Di tempat ini, kegiatan bakal diadakan.

Sebenarnya, jalan sehat hanya satu diantara banyak agenda kegiatan yang diselenggarakan pihak kampus. Kegiatan ini masih bagian dari perayaan dies natalis yang ke 46-tahun.

Lima belas menit lebih berlalu. Belum muncul calon peserta jalan santai. Hanya ada tiga orang panitia yang terlihat beres-beres dan menyiapkan keperluan jalan santai.

Motor saya parkir di halaman perpusda yang letaknya di seberang jalan. Sembari menunggu acara dimulai, saya iseng saja membantu panitia. Menyiapkan sound system, check sound, dan lain-lain. Hanya beberapa menit, pekerjaan ringan itu selesai. Lepas itu, saya sibuk memutar-mutar lagu via youtube. Cari-cari lagu yang pas dengan momen kali ini.

Pukul 08.00 kegiatan jalan santai pun dimulai. Jadwal molor sekira satu jam. Tidak masalah, sudah biasa pikir saya. Panitia mengumumkan rute kali ini melewati pinggiran kota, melintasi kawasan wisata baru Swiss (Sekitaran Sungai Saddang) --begitu masyarakat di Enrekang menyebutnya-- memasuki kawasan pemukiman padat di jalan kemakmuran, dan berakhir di tempat keberangkatan tadi.

Saya yang jarang olahraga, cukup merasa penat kali ini. Meski sekedar hiburan dan jadi ajang silaturahmi dengan peserta yang kebanyakan mahasiswa, selembar kupon di tangan jelas jadi obat tersendiri.

Benar saja, momen yang ditunggu tunggu pun tiba. Pukul 09.30 pengumuman pemenang melalui undin dimulai. Semua mata tertuju pada nomor undian di tangan masing-masing.

Sebenarnya, saya tak pernah punya rekor yang baik dalam soal undian. Terhitung, seingat saya tiga kali dalam berbagai kesempatan, saya tak pernah bawa pulang hadiah. Tapi tentu bukan itu intinya. Saya hanya senang saja dengan suasana seperti ini.

Satu persatu nomor undian dikocok, diumumkan dan disambut riuh para pemenang. Anak-anak hingga dewasa silih berganti naik ke panggung mengambil hadiah, berfoto bersama. Saya masih tenang-tenang saja.

Cuaca pagi itu mulai panas dan memaksa saya bergeser mencari tempat yang teduh. Di sana, saya duduk bersama seorang dosen. Kaget juga melihat ia memegang lima lembar kupon.

Setelah basa basi bertanya, saya dibuat tertawa sebab belum satupun dari lembar kupon itu menang. Sang dosen tetap optimis. Seolah ingin disaksikan keberhasilannya, ia meminta saya memegang beberapa lembar kupon di tangannya.

"kalau saya dapat dua hadiah, kamu saya kasih satu" Janjinya.

Beberapa saat tahu lah saya, hanya sedikit peserta yang punya satu kupon termasuk saya. Kebanyakan lebih dari 2 kupon. Jika dihitung, peserta termasuk panitia yang hadir, paling banyak 200-an orang. Sementara menurut panitia, jumlah kupon sebelum kegiatan dimulai ada seribu lebih. Jadi, paling tidak jika dirata-ratakan, tiap peserta bisa dapat masing-masing 5 lembar kupon.

Rezeki di tangan Allah. Saya mencoba positif saja. Lagi pula, kalau tidak kebagian hadiah, tak perlu juga harus kecewa. Santuy, begitu bahasa gaul anak anak sekarang.

Puluhan hadiah menarik pun berpindah tangan. Dispenser, setrika listrik, penanak nasi, hingga handphone sudah menghilang dari panggung. Tersisa satu undian lagi dengan hadiah yang ditunggu tunggu. Sebuah sepeda berdiri gagah, menunggu siapa pengayuh abadinya.

Adegan seolah didramatisir sebab beberapa kali undian diumumkan, tak ada yang maju menjemput hadiah utama itu. Panitia dipaksa mengundi nomor lain yang berserakan di kotak undian yang terbuat dari kardus.

Dan pada akhirnya, setelah beberapa jam kepanasan menunggu, harapan seluruh peserta pun pupus. Iya, termasuk saya. Kecuali perempuan berkerudung yang dengan wajah sumringah berlari menuju panggung. Dia adalah seorang mahasiswi. Senyumnya meluluhlantakkan harapan kami. Tak ada lagi harapan meski pada akhirnya kekecewaan peserta justru dibarengi gelak tawa, lepas. Pelan pelan mereka bubar.

Pak dosen tadi, berbalik arah menuju tenda panitia,  berbaur dengan para dosen lain.
Sambil senyam-senyum, saya pun ikut beranjak dari lokasi acara. Menuju gerobak kopi yang ada di seberang jalan. Kebetulan juga, yang punya adalah kawan saya. 

Belum sampai di sana, panitia mengumumkan bahwa akan ada hadiah hiburan. Sebuab handphone.  Seperti mimpi saja, kupon yang tak sempat saya robek di tangan nomornya persis sama dengan yang diumumkan. Saya tertawa riang dan segera menjemput hadiahnya.

Sekarang. Setelah hadiah hampir di tangan, saya teringat Pak dosen. Maklum, kupon yang saya pegang dan lupa saya buang tadi adalah kupon beliau.

Tak tunggu lama, saya bergegas mencarinya. Alasannya, saya anggap kupon itu masih miliknya. Jadi, tentu hadiahnya bukan hak saya.

Setelah bertemu dan menjelaskan apa yang terjadi, dosen tersebut terlihat gembira. Hanya satu kata terakhir yang diucapnya.
"Terima kasih ya !" Itu saja.
Saya pun berlalu.

Di jalan, logika seakan menghakimi saya. Ini kekonyolan dan tentu saja tindakan bodoh. Di zaman apapun saya hidup, ini adalah keputusan tak masuk akal. Mestinya, saya tak perlu mencari dosen tersebut. Toh, ia takkan peduli dan tidak tahu nomor undiannya akan disebut. Bahkan, semua peserta pun tak peduli lagi. Mereka anggap kegiatan sudah selesai.

Benar saja, sesampai di gerobak kopi, saya mulai kena batunya. Kawan-kawan disana punya anggapan yang sama. Bedanya, untuk mengatakan saya memang bodoh, mereka cukup melayangkan tawa.

Saya hanya membalas senyuman mereka dengan menghibur diri atas keputusan yang sulit dan terlihat dilematis ini.

" Kalau mau kaya, jangan terlalu jujur. Lambusu'nu ji nutau!"* Saya membela diri.

Mereka lagi-lagi hanya bisa tertawa.

*Hanya dengan kejujuran, kita dianggap orang!

(Musdin)



(In) Toleransi? Selamat Berpikir!



Membahas toleransi secara detail bukan perkara mudah. Sebab saya bukanlah ahli agama, pegiat sosial, atau seorang fanatik. Saya tak punya kapasitas untuk menetapkan suatu keadaan atau peristiwa sebagai tindakan intoleran. Saya hanya meyakini bahwa toleransi muaranya kepada perilaku, bukan sekedar ngaku-ngaku.

Seperti pendapat Djohan Efendy, toleransi menurutnya adalah sikap menghargai terhadap kemajemukan. Tentunya, bukan hanya sekedar mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain. Tapi, juga terlibat pada upaya mengetahui dan memahami adanya kemajemukan.

Entah sejak kapan isu intoleransi mengutak atik negeri ini. Apakah karena keragaman budaya dan agama sehingga praktik dan paham  yang tidak toleran mudah menjamur? Sangat menyedihkan bila agama yang punya nilai sakral, pengikutnya sengaja diadu domba satu dengan yang lain. Kita tahu, isu agama sangat mudah menyulut api pertikaian.

Lebih celakanya, isu-isu semacam ini justru digoreng dan dipertontonkan di ranah publik. Para tokoh yang ngaku "paham" agama membuat dalil dan definisi sendiri. Seolah, tidak ada lagi tempat untuk ber-Bhinneka Tunggal Ika di negeri ini. Padahal jauh di pelosok yang kurang disentuh media, masyarakat tak begitu tahu arti toleransi. Tapi sikap mereka, perilaku yang ditunjukkan, nilai yang diperlihatkan, jauh melampaui definisi toleransi.

Enrekang, daerah yang berbatasan langsung dengan Tana Toraja, punya banyak cerita yang tak habis dibagi bila mau bicara toleransi. Masyarakat Enrekang, khususnya wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja, telah lama hidup berdampingan dengan damai. Mesjid dan Gereja lumrah bersebelahan. Bahkan, ada banyak keluarga yang hidup serumah, dengan agama yang berbeda.

Hebatnya, agama bagi mereka bukan hal yang rendahan untuk jadi alasan tidak saling mengasihi. Agama, bukan pula barang mainan yang boleh dicampur aduk seenaknya hanya untuk melanggar nilai-nilai yang diyakini oleh para penghuni rumah.

Tana Toraja sendiri, dengan penduduk mayoritas beragama Kristen, mampu menunjukkan nilai toleransi tingkat tinggi. Sebagai contoh, tahun 2019, Kabupaten yang dikenal dengan sebutan Bumi Lakipadada ini menjadi tuan rumah Seleksi Tilawatil Qur'an dan Hadist (STQH) ke-31 tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Di Kota Makale, tempat digelarnya kegiatan, menjadi surga bagi keberagaman. Tak ada yang peduli soal isu-isu intoleransi.

Apa yang terjadi di sana (Tana Toraja) bukan hal remeh-temeh. Agama memang urusan privat bagi para pemeluknya, namun apakah sebagai muslim, peserta yang hadir akan berkompetisi di dalam gereja? Apakah selaku tuan rumah, kaum Nasrani wajib hadir dalam kegiatan untuk mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran demi menghargai tamu? Tentu saja tidak.

Setiap orang hendaknya menghargai dan menjaga kemerdekaan orang lain untuk menjalankan agamanya, demikian pandangan Cak Nun menyoal toleransi beragama. Banyak yang paham soal ini. Banyak pula yang buta definisi, tapi soal saling menghargai, tak perlu lagi diajari.

Beberapa tahun belakangan, soal semacam boleh tidaknya mengucapkan selamat hari raya bagi saudara kita yang Nasrani, menjadi kebisingan yang merusak akhir tahun. Bagi saya, yang memang tak pernah mengucapkannya, bukan karena tidak punya kesetiakawanan sosial. Lagi pula, saudara kita yang beda keyakinan, tak pernah menuntut diberi ucapan selamat, alih-alih kado.

Mari mulai berpikir. Daripada sibuk mengurusi keyakinan orang lain, mungkin lebih baik kita belajar mendalami agama kita sendiri. Ini lebih penting ketimbang sibuk bertengkar soal intoleransi yang tak kelihatan ujungnya di mana. Hal yang tidak kalah penting, bagaimana saudara kita beribadah di hari rayanya dengan suasana yang aman. Jauh dari kegaduhan dan tanpa gangguan. Selamat Berpikir!

(Musdin Musakkir)







Kenapa harus shalat?




Saya bukanlah orang yang taat beragama. Meski, beberapa tahun terakhir, shalat tak pernah saya tinggalkan. Lho, bukannya dengan shalat wajib lima kali sehari adalah ciri orang yang taat dalam beragama? Jawabannya, bagi saya belum tentu.

Betul bahwa dengan menegakkan shalat tidak akan begitu saja menjadikan kita sebagai orang saleh. Itu baru menjadikan kita muslim. Muslim yang seperti apa itu adalah pilihan. Apalagi jika shalat hanya sebagai penggugur kewajiban.

Apa alasan kita melaksanakan atau tidak melaksanakan shalat? Apakah iming-iming tiket ke surga mungkin? Atau neraka adalah mimpi buruk yang tak boleh jadi kenyataan? Apakah cukup dengan shalat beban di akhirat kelak menjadi ringan? Semua pertanyaan ini boleh saja jadi alasan. Tapi bagi beberapa orang yang saya temui, surga tak serta merta dirindukan, dan neraka masih jadi misteri, itu urusan nanti!

Seringkali, saat adzan berkumandang, muncul beban, keluh, dan kemalasan. Taat itu menyiksa diri. Tidak taat, menipu diri. Sedang, bagi saya yang memilih beragama, ya harus shalat. Lebih sering menunda-nunda, alih-alih mau berjamaah. Asal sujud sudah, selesai perkara.

Karena keseringan begitu, shalat tak pernah terasa nikmat. Singkat, cepat, pura-pura tobat. Tapi, ada hal yang buat saya terkesan. Titik dimana tak semua perkara boleh dijadikan mainan. Hari itu, di masjid yang tak terlalu besar itu, penceramah bilang begini " orang yang tidak mengerjakan shalat adalah orang yang sombong". Kalimat itu begitu menyengat, sangat.

Manusia dianugerahi akal pikiran. Setidaknya, selagi shalat ditunaikan pemberian itu berubah haluan. Dari suatu yang membanggakan, menjadi hal yang memalukan. Betapa tidak, sujud membuat bagian tubuh terhina kita (anus) lebih tinggi dari otak di kepala. Apalagi yang mesti disombongkan orang yang shalat? Pangkat, kedudukan, kecerdasan, kekayaan?

Maka, bagi saya di luar dalil agama, melepas kesombongan adalah kunci agar shalat tetap tegak. Diri kita diuji dengan kerelaan merapatkan kening dan menghamba. Keegoan tak punya tempat lagi ketika semuanya tumpah di lantai sujud. Apa lagi yang mau disombongkan?

Pernah pula, saya bertanya pada kawan, apa yang membuat ia masih enggan melaksanakan shalat. Tak ada maksud menggurui tentunya. " bukankah perilaku lebih penting diperbaiki terlebih dahulu ketimbang beribadah?" kira-kira demikian ia balik bertanya. Boleh pula disederhanakan begini " buat apa sholat kalau tingkah masih biadab?".

Waduh, kalau begitu maunya, saya tak pantas shalat dong? Dan tak akan memulai shalat? Apakah ada manusia yang bebas dari kehinaan dan kesalahan? Apakah umur bisa menjamin manusia berubah dan sempurna akhlaknya? Sementara kewajiban kita, lebih banyak dari umur yang ditetapkan, berapa tahun pun kita hidup tak akan cukup.

" sesungguhnya, shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar" begitu bunyi ayat-Nya. Jika sudah shalat kemudian tak ada perubahan, boleh jadi shalatnya belum sempurna. Perbaiki dan terus perbaiki. Alim ulama bilang begitu. Pada akhirnya, dengan pelan-pelan, kesalahan akan diganti dengan kesalehan.


(Musdin Musakkir)




"Matinya" Mahasiswa


Agen perubahan. Kontrol sosial. Generasi kritis. Inovatif. Peduli. Dan, banyak lagi kata yang malah membuat paradoks bagi mahasiswa itu sendiri. Aktif dalam ruang diskusi, bergelimang teori. Namun, dalam implementasi mereka "mati".

Matinya mahasiswa dipicu oleh sikap apatisme yang hadir justru ketika mahasiswa berani berteriak merdeka. Hanya, belakangan mahasiswa sadar, bahwa kata merdeka adalah ibarat mitos pedang terhunus para petarung bugis, " sekali terhunus, darah mesti tertumpah".

Apatisme menjadi benteng antara teori dan aksi. Dalam kehidupan mahasiswa di kampus, hal ini menjadi begitu nyata. Kebijakan pimpinan kampus, amburadulnya layanan akademik, ketidakpastian penyelesaian studi, buruknya sarana penunjang kegiatan belajar, dibalas dengan sikap dingin dengan alasan "cari aman".

Ada beberapa sebab "mati"nya mahasiswa di kampusnya sendiri. Pertama, merasa bahwa tugas mahasiswa sepenuhnya adalah belajar dan diskusi. Sehingga, kesan yang timbul adalah semua problem yang terjadi akan selesai dengan sendirinya. Pimpinan kampus dianggap adalah orang-orang yang pasti tahu cara menyelesaikan masalah dan tugasnya dengan baik. Mahasiswa, diminta belajar saja dengan giat, begitu kira-kira.

Sebab yang kedua, mahasiswa menganggap bahwa tunduk dan patuh dengan segala kebijakan pimpinan kampus merupakan sikap mahasiswa yang baik. Tidak kritis berarti taat. Dan, ketaatan akan serta merta mengantarkan pada kesuksesan. Padahal, kritik  dibangun untuk tidak membenarkan segala tindakan. Kritisme justru menuntut diberlakukannya tindakan yang ideal. Contoh, mendapatkan pelayanan akademik yang baik dari kampus adalah sesuatu yang ideal, sudah semestinya begitu. Sebaliknya, jika tidak baik, berarti tidak ideal. Ada yang salah.

Ketiga, ide dan gagasan yang cemerlang hanya akan menjadi sampah di kepala bila tak dilakukan. Parahnya, mahasiswa membiarkan itu terjadi begitu saja. Mereka mati rasa, kehilangan kekuatan untuk berbuat. Dalam hati kecil, mereka risih dengan peran yang disandang sebagai agen. Di sisi lain, mereka  gembira karena kawan-kawan seperjuangannya juga ikut-ikutan mati rasa. Pengetahuan adalah kekayaan, itu saja yang penting.

Keempat. Mahasiswa sulit bersatu. Maka, kebenaran adalah milik masing-masing individu. Kelompok-kelompok diskusi menjamur hanya untuk mendiskusikan keberlangsungan kelompoknya sendiri. Terkait kebijakan yang tidak pro terhadap kepentingan mahasiswa, bisa diatur. Padahal, kompromi terhadap kebijakan semena-mena kampus adalah pengkhiatan terhadap kepercayaan mahasiswa lainnya.

Terakhir. Ketakutan berlebih. Mahasiswa menganggap bahwa nilai akademik yang rendah adalah bencana. Maka, untuk menghindari bencana tersebut, sebaiknya jangan berurusan dengan yang empunya kampus. Juga, agar lebih disayang dosen atau staf, berhenti mengeluh soal pelayanan. Pokoknya, nikmati saja yang ada, segala kekurangan maklumi saja. Dengan bersikap demikian, mahasiswa tipe ini akan punya harapan menjadi mahasiswa teladan dan penjaga nama baik kampus. Terdengar individualis dan pragmatis.

Memang, menjadi mahasiswa tidaklah mudah. Harapan begitu banyak di pundak kita. Berani menjadi mahasiswa berarti berani untuk mati-matian aksi. Perlu pula dipahami, nilai konstruktif mahasiswa ada dalam kritik. Kritik juga mesti dilakukan dalam semua ruang. Bisa dilakukan dalam dialog, diskusi, demonstrasi, hingga korespondensi.

Mengakhiri tulisan ini, penulis menyinggung diri sendiri, bahwa bisunya mahasiswa, sama dengan mati. Ketidakpekaan terhadap suatu masalah pertanda tak punya rasa sebagaimana pengertian apathes dalam bahasa Yunani. Kalau sudah mati rasa, bukankah lebih baik sekalian mati saja?

(Musdin Musakkir)

Free Download KineMaster Mod .apk

Assalamu alaikum. Selamat datang di blog saya yang sangat sederhana ini.

Oke, sebelumnya saya minta maaf karena lama tidak posting sesuatu, baik itu berita, artikel, maupun hal-hal yang berbau viral gitu, hehe.
Nah, mumpung ada waktu, saya posting saja sesuatu yang lagi dicari-cari sama para youtuber, apalagi kalau bukan aplikasi video editor.

ebenarnya, banyak sekali aplikasi yang keren untuk mempercantik video kita sebelum diunggah ke medsos, tapi aplikasi yang satu ini sangat saya rekomendasikan. Mengapa? Karena selain gratis, aplikasi ini sangat mudah digunakan dan hampir cocok di semua smartphone android. Fitur-fiturnya juga tidak kalah mentereng pokoknya.

Aplikasi ini bernama KineMaster. Mudah dan tidak butuh waktu lama untuk mempelajari beberapa fitur utamanya. Langsung saya kasi saja deh. Berikut linknya. Gratis untuk kalian.


Selain link di atas, kalian juga bisa me-download langsung aplikasi resminya di Playstore. Hanya, untuk aplikasi resmi tersebut, ada beberapa fitur yang belum bisa digunakan seperti watermark atau tulisan " made with KineMaster" di pojok kanan atas video kita setelah diekspor. Tentu saja untuk menghapus tanda tersebut, kalian harus mengeluarkan biaya untuk upgrade ke versi pro, hehe. Bagaimana, pilih yang resmi tapi bayar, atau gratisan? Hehehe. 
Powered by Blogger.

Terpopuler

Kategori