Pola kehidupan masyarakat perlahan-lahan bergeser dan
berkiblat ke arah barat. Sistem budaya barat telah dianggap sebagai kebudayaan
yang modern dan maju sehingga banyak negara-negara berkembang ikut mengadopsi
hampir semua aspek yang berbau kebarat-baratan.
Indonesia, negara dengan ragam budaya yang melimpah, tidak luput dari pengaruh
tersebut. Secara umum, perilaku meniru-niru kebiasaan bangsa-bangsa barat dan
menjadikannya dominan dalam kehidupan bermasyarakat pada suatu negara
disebut sebagai Westernisasi.
Di zaman yang semakin terbuka ini, pengaruh budaya
asing memang sulit untuk dihindari. Ditambah, arus globalisasi sangat
memungkinkan terjadinya interaksi dan kontak budaya antar negara. Interaksi
tersebut bisa terjadi melalui proses pertukaran pelajar, perkawinan dengan
warga negara asing, film-film di televisi dan bioskop, maupun kunjungan
wisatawan asing. Hal tersebut menyebabkan percampuran budaya tanpa filterisasi.
Lemahnya upaya dalam membendung arus budaya tersebut berdampak pada hilangnya
kebanggaan terhadap budaya bangsa sendiri. Budaya Barat yang menghendaki
perilaku bebas tanpa aturan moralitas juga membuat masyarakat Indonesia tidak
segan lagi melanggar batas-batas dan norma agama.
Di Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk
beragama Islam sangat jelas terlihat pola westernisasi. Aturan-aturan agama
dalam Islam (syariat) yang eksklusif menjadikannya sasaran utama dari
westernisasi. Beberapa dekade sebelumnya, kita masih bisa membedakan kaum
muslim dengan umat non muslim yang lain. Hal tersebut terjadi karena saat itu
aturan agama masih dipatuhi. Contoh lain, jilbab sebagai busana khas kaum
perempuan (muslimah) memberikan ciri tersendiri bagi perempuan beragama Islam. Kini,
hampir sulit membedakan mana yang muslim dan yang bukan muslim karena gaya
hidup terutama busana sudah sama antara umat muslim dengan umat non muslim yang lain.
Muhammad Hamid An-Nashir mengemukakan
pengertian westernisasi sebagai berikut : “ Gerakan westernisasi adalah
sebuah propaganda lengkap yang memiliki aturan, misi dan berbagai sarana dan
prasarana yang didukung oleh banyak gerakan yang mana gerakan terpentingnya
adalah kristenisasi yang sering disebut (penyampaian kabar gembira) dan orientalisme.
Dengan demikian, pola modernisasi barat yang sangat bertentangan dengan agama
Islam akan merusak nilai-nilai moral umat Islam.”
Pada aspek pendidikan, terutama di sekolah menengah,
hampir tidak bisa dipungkiri lagi dampak negatif yang ditimbulkan oleh
westernisasi. Dari mulai pakaian, alat-alat teknologi, hingga pergaulan bebas
semua terjadi akibat westernisasi. Karena pendidikan merupakan hal yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, terlebih peserta didik adalah penerus generassi
selanjutnya, perlu peran pendidik untuk mengarahkan dan memberikan pemahaman
kepada peserta didik mengenai dampak westernisasi. Di lingkungan sekolah, semua
pihak harus terlibat aktif dalam membendung arus westernisasi dan memastikan
para generasi muda lebih mencintai budaya bangsanya sendiri daripada budaya
barat. Terlebih, tugas tersebut lebih tepat dipikul oleh guru BK sebagai bagian
dari fungsinya sebagai pembimbing siswa di sekolah. Guru BK harus paham apa
dampak westernisasi dan mampu menyikapi pengaruhnya di lingkungan pendidikan.
Berdasarkan fenomena tersebut, penulis ingin lebih jauh
melihat peran guru BK dalam menyikapi westernisasi di lingkungan sekolah. Lebih
lanjut, apa upaya apa yang harus dilakukan oleh guru BK untuk meminimalisir
pengaruh westernisasi di sekolah.
A.
WESTERNISASI DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN (SEKOLAH)
Pengertian Westernisasi
Kata Westernisasi berasal dari kata westernize yang berarti “membaratkan”. Perilaku
meniru-niru kebiasaan dan budaya orang-orang Barat. Koentjaraningrat mengatakan
:westernisasi itu adalah usaha meniru gaya hidup orang Barat secara berlebihan,
meniru dari segala segi kehidupan baik dari segi fashion, tingkah laku, budaya dan lainnya.
Jadi, westernisasi adalah perbuatan yang dilakukan
dengan cara meniru-niru kebiasaan orang-orang barat, baik gaya hidup,
pergaulan, dan tingkah laku mereka tanpa filterisasi dan cenderung
mengadopsinya secara keseluruhan.
Sejarah Westernisasi
Imperialisme dan kolonialisme yang terjadi di
Indonesia dalam jangka waktu lama berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat.
Dampak tersebut terjadi pada semua segi kehidupan masyarakat. Sebagian pakar
sejarah Islam mengatakan bahwa proses westernisasi ini terjadi sejak abad 19 Masehi. Hal tersebut membuktikan bahwa pengaruh
westernisasi telah secara langsung dilakukan oleh para penjajah di masa itu.
Di kalangan masyarakat muslim, pengaruh westernisasi
terlihat dari adanya upaya westernisasi yang berlangsung dalam dua periode:
Pertama, ketika masa kepemimpinan Abbasyiah ke-II. Bangsa arab ketika itu
memasuki masa kemunduran terutama di bidang perpolitikan dan ekonomi.
Akibatnya, terjadi pergeseran-pergeseran nilai agama dikarenakan takluknya
wilayah-wilayah Islam. Dengan begitu, gerakan keagamaan perlahan mulai luntur
dan mengikuti pola kehidupan bangsa penakluk.
Kedua,
westernisasi muncul akibat adanya perpecahan diantara khalifah-khalifah Islam
saat masa Turki Usmani. Hal tersebut memberikan peluang yang luas dalam gerakan
modernisasi-westernisasi.
Pengaruh
Westernisasi di Lembaga Pendidikan
Sejak abad ke-19 Masehi, gerakan westernisasi sudah
mulai menyentuh lembaga pendidikan yang dipimpin oleh Muhammad Ali di Mesir.
Pemikirannya mengarahkan pola pendidikan di negara Islam tersebut menyerupai
kebiasaan-kebiasaan bangsa barat. Hingga kini, negara-negara Islam pun lebih
cenderung mengikuti pola-pola tersebut meskipun pada kenyataannya, sistem
pendidikan yang dianut oleh bangsa Barat belum tentu sesuai dengan kebudayaan
di negara-negara Islam, terlebih di Indonesia sendiri.
Salah satu alasan mengapa pengaruh westernisasi di
dunia pendidikan kita adalah kuatnya arus dan faktor perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang pesat sehingga negara-negara Islam yang mengalami kemunduran
mau tidak mau ikut mengadopsi pemikiran dan sistem pendidikan negara barat.
Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh bangsa Barat untuk memengaruhi pemikiran
masyarakat dan pelajar Islam yang belajar di luar negeri agar ketika kembali ke
negara asalnya, pemikiran tersebut ditularkan kepada masyarakat semua lapisan
terutama juga di lingkungan pendidikan.
Sebagai buktinya, kita dapat melihat banyak
lembaga-lembaga pendidikan sekarang yang justru bangga mengadopsi sistem
pendidikan Barat tanpa menyesuaikan dengan budaya lokal nusantara. Misalnya,
kini bisa kita lihat di kelas-kelas para peserta didik dengan bebas bergaul dan
bercampur antara laki-laki dan perempuan dalam satu kelas, pengurangan jumlah
jam pelajaran agama dan lebih banyak menggunakan teknologi, ataupun kurikulum
model pendidikan Barat. Dengan begitu, mutu lulusan lebih cenderung berpikir kebarat-baratan.
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya westernisasi pada
pendidikan di Indonesia adalah faktor informasi dan yang datangnya melalui
audio visual. Disamping itu juga melalui kontak sosial terutama sekali di
daerah-daerah pusat industri dan kepariwisataan. Kemajuan-kemajuan yang sangat
besar dalam bidang komunikasi menyongsong timbulnya era informasi secara
global, artinya tidak ada satu bangsa pun di dunia ini menutup diri dari era
informasi. Tuntutan perkembagan zaman yang menghendaki pola kehidupan yang
lebih maju dari segala segi kehidupan mengakibatkan perubahan-perubahan di
sektor ekonomi dan sistem sosial budaya masyarakat. Namun yang sangat
mengkhawatirkan adalah perubahan sistem sosial budaya ini cenderung kebarat-baratan.
Peran
Guru BK dalam Menyikapi Westernisasi
Dikaitkan dengan era globalisasi dan informasi yang
digambarkan pada pembahasan sebelumnya, perubahan-perubahan yang dibawa oleh
globalisasi dan modernisasi akan lebih deras lagi menggoncang masyarakat dan
sekolah sebagai lembaga pendidikan. Akibat yang akan timbul ialah semakin
banyaknya individu, anak-anak dan remaja peserta didik di sekolah, para pemuda
serta warga masyarakat lainnya yang dihimpit oleh berbagai tantangan dan
ketidakpastian, terlempar dan terhempas oleh berbagai harapan dan keinginan
yang tidak terpenuhi (Prayitno:2004)
Di sekolah pada umumnya, gerakan westernisasi lebih
banyak menyentuh aspek budaya (gaya hidup) dan penggunaan teknologi (gadget) yang kurang bijak.
Penyalahgunaan teknologi yang dimaksud seperti penggunaan ponsel untuk menonton hal-hal yang kurang mendidik, chatting berlebihan hingga lupa waktu
belajar, dan sebagainya. Untuk memberikan pemahaman sekaligus pencegahan
terhadap perilaku tersebut, guru BK harus terlibat aktif dalam menjalankan
fungsinya.
Program pelayanan BK berusaha untuk dapat menemukan
antara kemampuan individu dengan cita-citanya serta dengan situasi dan
kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, dalam kondisi yang seperti inilah
dirasakan perlunya peran BK yang memfokuskan kegiatan dalam membantu menghadapi
tantangan globalisasi dan informasi saat ini. Hal tersebut akan berdampak luas
terhadap seluruh aspek kehidupan. BK merupakan proses upaya membantu individu
untuk mencapai perkembangannya secara optimal. Yang pada intinya BK merupakan
suatu upaya bantuan terhadap individu untuk membantu mengoptimalkan
perkembangan dalam kehidupannya serta membimbing individu agar mengetahui atau
mengerti dirinya sendiri, mengarahkan, merealisasi, mengembangkan potensi,
serta mengaktualisasi dirinya sendiri dan juga melalui tugas-tugas
perkembangannya dengan baik. Oleh karena itu, BK juga memerlukan suatu
penyesuaian dengan kemajuan tetapi tidak serta merta mengadopsi secara
keseluruhan tanpa filter.
Oleh karena, konselor dituntut untuk dapat mahir serta
terlatih dalam penggunaan dan penerapan konseling melalui media teknologi untuk
mengimbangi kebutuhan konseling siswa yang lebih menguasai teknologi agar tidak
disalahgunakan. Upaya tersebut misalnya dengan memfasilitasi klien dalam
mengembangkan potensi serta memahami dirinya termasuk mengoptimalkan
perkembangannya.
Untuk menyikapi westernisasi khususnya dalam
penggunaan teknologi informasi di lingkungan sekolah, guru BK dapat memberikan
layanan pemahaman sebagai upaya preventif. Layanan tersebut dapat berupa penguatan
pemahaman agama, bimbingan kelompok, konseling lintas budaya, maupun layanan
informasi tentang penanaman nilai-nilai agama, kebudayaan, dan nasionalisme.
Dengan begitu, diharapkan akan lahir kesadaran peserta didik tentang perlunya
kebanggaan terhadap budaya bangsa.
(Musdin Musakkir)