(Sumber Gambar : http://smkihyaululumdukun.sch.id/artikel-72-stop-bibitbibit-premanisme-di-sekolah.html)
***
Tak ada yang bisa menyanggah pendapat segelintir siswa kelas x salah satu Sekolah Menengah Atas di Enrekang itu ketika saya coba lontarkan pertanyaan seputar peran dan
tugas Guru BK di sekolah. Hampir seluruhnya sepakat bahwa penegak kedisiplinan plus penjaga keamanan di lingkungan
sekolah adalah Guru BK. Para siswa tersebut satu per satu membeberkan alasan
yang bikin merinding. Ya, rata-rata mengakui pernah berurusan dan mendapat
perlakuan kurang menyenangkan dari Guru BK.
Lagi dan lagi, untuk ketiga kalinya magang saya selama kuliah tidak mendapat jawaban yang berbeda. Semua intinya sama. Pertanyaan singkat itu semakin menenggelamkan semangat dan semboyan Guru BK sebagai “Jantungnya Sekolah”. Di sisi lain, tidak mungkin menyalahkan siswa yang dengan tegas memberi stigma negatif terhadap tugas Guru BK. Lalu, bagaimana seharusnya tugas Guru BK?
Konselor dalam hal ini Guru BK di sekolah mau tidak
mau harus menguasai empat kompetensi dasar yaitu; pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional (Prayitno:2017). Dengan demikian, apabila salah satu kompetensi dasar
tersebut tidak dimiliki oleh Guru BK, tentu tindakan dalam pelayanannya akan
mengarah kepada tindakan kekerasan, baik itu secara fisik maupun dalam bentuk
verbal. Bahkan, tidak jarang Guru BK lebih dikenal sebagai “Polisi Sekolah”.
Ada beberapa faktor yang saya kira menjadi penyebab
mengapa tugas dan peran Guru BK tidak maksimal dan cenderung “Keluar Jalur”. Diantaranya
adalah ketidaksiapan Guru BK dalam melaksanakan program layanan yang telah
disusun. Seperti diketahui, layanan BK memiliki berbagai bidang layanan, salah
satunya BK pribadi dan sosial. Dimana, setiap individu memiliki keunikan
tersendiri yang semestinya dipahami oleh Guru BK. Tentu tidak efektif apabila
menghadapi berbagai macam karakter siswa dengan hanya menerapkan satu bentuk
layanan saja. Pendekatan yang dilakukan tidak bisa disamakan dengan karakter siswa
yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, Guru BK dituntut untuk tetap
profesional meski sangat manusiawi ketika diuji kesabarannya menghadapi siswa
yang urakan dan berperilaku agresif.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah kerjasama
yang kurang apik antara Guru BK dan pihak sekolah. Sering terjadi Guru BK
melakukan pekerjaan multitasking. Semua
peran, tugas, dipikul sekaligus oleh Guru BK. Dampaknya adalah ketidakefektifan
layanan BK terhadap siswa. Misal, masalah kedisiplinan yang harusnya menjadi
fokus wakil kepala sekolah bagian kesiswaan dilimpahkan kepada Guru BK. Begitu pula
dengan penegakan peraturan dan kedisiplinan di lingkungan sekolah. Padahal,
Guru BK tidak hanya dituntut melayani siswa yang bermasalah saja, tetapi banyak
juga siswa yang membutuhkan bimbingan terkait karir dan bidang belajarnya.
Pada akhirnya, sebagai calon Guru BK, saya pun masih
harap cemas menyongsong dunia “Kependidikan” yang sesungguhnya. Terlebih,
keluhan Guru Pembimbing Magang saya saat konsultasi masih menjadi hantu di
benak saya. Beliau pesimistis. Akan sangat sulit menerapkan ilmu yang diperoleh
dari bangku kuliah ke dunia sekolah. Alasannya, pendekatan dan teori-teori yang
dipelajari tidak lagi relevan untuk mengatasi problematika siswa yang semakin
kompeks.
Meskipun demikian, optimisme harus tetap saya utarakan. Dunia BK
tidak akan selamanya menjadi momok dan terperangkap dalam miskonsepsi dan
stigma negatif siswa dan masyarakat luas. Hal yang bisa dilakukan sebagai
langkah awal adalah membangun public
trust. BK memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Masyarakat harus
betul-betul memahami bahwa BK tidak hanya melayani individu yang bermasalah
saja, tetapi lebih daripada itu, BK mampu hadir di tengah-tengah masyarakat
melayani setiap individu agar mampu berkembang ke arah yang lebih baik sesuai
tujuan hidup dan cita-citanya. Senada dengan semboyan profesi konselor; Di sekolah mantap, di luar sekolah sigap, di
mana-mana siap!
(Musdin Musakkir)
0 komentar:
Post a Comment