Samsul dan Midah saling memandang. Semua kata dan kalimat enggan meluncur dari keduanya. Mereka tampak kaku, seolah baru kali ini bertemu tapi malu menyapa. Tatapan yang sayu dan lusuh. Ibarat cermin, Samsul melihat duka ketika menatap ibunya, tua, lemah, dan jadi satu-satunya keluarga yang tersisa hanya dalam waktu delapan jam yang lalu. Sisanya, termasuk istri dan dua orang anaknya, telah terbaring kaku ditutup papan liang lahat.
Keduanya sibuk memancang tiang sederhana untuk menopang tenda darurat dari terpal. Tapi tak lama, Midah mengambil alih tugas yang lain, menyiapkan kopi panas.
Udara yang cukup dingin tak mudah berkompromi di pagi hari. Apalagi, keduanya masih tampak suntuk dengan wajah penuh lumpur, sementara kain yang melekat di tubuh mereka hanya satu-satunya yang tersisa, tak ada yang dilewatkan oleh aliran lumpur dari kaki gunung semalam. Air deras yang bercampur tanah mencuri segalanya, membawa lari seluruh harta benda keluarga malang itu.
Samsul, tak ingin terlihat larut dalam kesedihan atas kejadian ini. Sesekali ia mengumbar senyum yang juga disambut Midah ala kadarnya. Senyum yang penuh keterpaksaan. Senyum yang miris, tragis, bahkan sangat diragukan kalau itu adalah sebuah senyuman.
Hingga beberapa jam berlalu, dan orang-orang mulai mengurusi harta bendanya yang masih bisa terpakai, belum juga ada yang berani tegus sapa. Agaknya akan berlangsung lama situasi seperti itu, andaikan tak ada kepala dusun yang menyapa. Membangkitkan gairah basa-basi orang Enrekang kebanyakan, dan mulailah mereka berbaur. Midah mempersilakan kepala dusun ngopi dulu sebelum melanjutkan pencarian di sekitar lokasi longsor. Masih banyak warga yang menjadi korban dan sampai kini belum ditemukan.
Lepas mendirikan tenda darurat, Samsul pamit pada ibunya, entah kemana. Ia tak tahu harus mengerjakan apa dalam situasi yang gamang dan menyiksa itu. Ingin rasanya melempar semua beban dipundak dan pikirannya jauh-jauh. Mungkin akan terasa ringan ketika semua kenyataan hidup ini disapu sekalian oleh lumpur yang tanpa permisi menyeret rumah-rumah warga sekaligus rumah mereka. Menyesal? Apakah ia perlu merasa menyesal? Lagi pula, apa yang harus ia sesalkan? Tidakkah ini semua bukan atas kehendak dan kemauannya? Ia tak punya kuasa sama sekali atas kejadian ini. Cepat atau lambat penyesalan ini mengambang dan menguap semaunya.
Perut yang mulai berisik tak dihiraukan Samsul. Niatnya hanya ingin menenangkan diri. Selera makan tak sedikitpun ada untuk hari ini, atau mungkin beberapa hari ke depan. Dalam ketimpangan, ia bersandar di bawah pohon aren di kaki bukit. Pohon itu nampak mencolok karena satu-satunya yang masih tertanam di sana, meski daun-daunnya telah rontok dan kering. Akarnya menyembul ke permukaan tanah. Samsul menarik napas panjang, ditatapnya orang-orang yang berpencar-pencar mengais puing-puing bangunan. Perlahan pandangannya kabur. Ia tertidur.
“ Tabahkan hatimu kawan!”
Samsul melongok, memutar badannya, mencari sumber suara.
“ Tak usah kau risau. Aku ini makhluk Tuhan. Kau pikir hanya kalian yang mampu bicara? Siapa namamu?” tanya pohon Aren
“ Aku Samsul.” Jawabnya dengan heran.
“ oooh.”
“ Kau tak sedikitpun menaruh simpati padaku, Aren?”
“Maksudmu?”
“ Ya, kau lihat kami kehilangan harta benda, sanak saudara, rumah tempat berteduh. Pikirmu ini lelucon?”
“ Apa yang bisa kami lakukan? Bukankah kalian yang menginginkan demikian?”
“ Kau membuatku bingung.”
“ Lihat dan dengarlah, kami sedang bersenandung. Inilah nyanyian alam.”
“ Bersenang-senang di atas derita kami?” Samsul jengkel.
“ Kami yang menderita. Kami yang tersisih. Kami yang terlunta-lunta.” Aren menimpali.
“ Aku tak paham.”
“ Ingatlah, betapa rakusnya manusia. Kalian ingin cepat kaya. Mana pernah berpikir soal kami. Saudara-saudara kami, sepupu kami, kau tebangi.”
“ Kami butuh tempat tinggal.”
“ Lalu?’
“ Kami butuh kebun untuk bercocok tanam, berharap penghidupan.”
“ Lalu?”
Samsul tak menjawab. Ia terpojok.
“ Begitulah manusia. Semua dilakukan untuk kepentingannya saja. Tahukah kau, kaki kami berbeda?”
“ Aku tak mengerti.”
“Kakiku yang serabut ini, tak cukup mampu menggantikan kaki sepupu-sepupuku yang tunggang dan panjang. Tak mampu menahan limpahan air dari langit, dan tanah harus rela dibawanya lari. Kami tak mampu lagi.”
Lagi-lagi Samsul bungkam. Tak ada alasan lagi. Ia semakin menyadari keserakahannya selama ini. Ia tak pernah bertegur sapa dengan alam. Tak mau mendengar keluhan mereka. Tak hirau pada nasib Aren dan pohon lain yang selama ini justru menjaga mereka. Menahan tanah agar tak lepas dari kaki-kaki pohon.
Samsul tak ingin membela diri. Manusia-manusia sepertinya memang harus memaknai kejadian ini. Tidak perlu menghujat Tuhan, apalagi menuduh-Nya bersekongkol dengan alam untuk membuat mereka menderita. Ia yakin teguran kadangkala disodorkan secara menyakitkan. Seperti kata Aren, alam sedang bernyanyi. Hanya saja kali ini iramanya teramat sendu. Nada-nadanya minor.
“ Samsul.....Samsul....!”
Samsul tersentak mendapati dirinya bersandar dan tertidur di bawah pohon Aren. Tangannya mengucek-ngucek mata sambil memelototi batang pohon yang berada di depannya. Kaku, tak ada suara. Dilihatnya dari jauh Midah melambai-lambaikan tangan meminta ia mendekat. Samsul berlari kecil menghampiri ibunya. Tak lama ia bergegas membantu warga yang lain, mengangkat mayat yang baru saja ditemukan dibalik reruntuhan bangunan yang penuh lumpur. Lumpur yang seakan ikut berbelasungkawa padanya. Membawa penyesalan yang –diharapnya- kali terkahir dalam hidupnya.
0 komentar:
Post a Comment