Rosa mengamuk. Pecahan gelas dan piring berserakan di lantai. Berlarian saling menjauhi. Tak tentu arah. Semacam mozaik yang minta untuk dirangkai ulang. Tapi lebih sulit ketimbang merangkai puzzle, mainan masa kecil di taman kanak-kanak. Pipinya basah, matanya memerah. Ibu berlalu ditemani nafas berat. Jantungnya memompa dengan cepat. Pelan-pelan ia duduk. Kursi kayu itu seakan mau lari. Di bola matanya, tampak pecahan-pecahan kaca. Mencair dan jatuh ke pipi. Belum pernah ada air mata sehangat itu.
Lantai rumah dari kayu ulin Kalimantan bergetar. Terasa ke kaki kursi. Bunyi sepatu terhenti di depan pintu.
“ Mana kunci motor?”
“ Di atas lemari pakaian”. Sahut Ibu pelan.
Bapak murka. Tetangga rupanya keceplosan tadi siang saat ngopi bareng di pos ronda tempat Ayah biasa nongkrong. Mata Ayah tajam, Rosa tak berani menatap. Sejak kelas dua SMP, Ayah tak pernah lagi senyum padanya. Hari ini, raut muka Ayah sama.
“ Mulai besok, kamu Ayah antar. Pulang sekolah Ayah jemput lagi”. Ayah menegaskan.
Rosa melangkah malas ke kamar. Membanting pintu lalu berbaring. Ditatapnya langit-langit kamar. Pandangannya melompat ke dinding. Puluhan bingkai menggantung di sana. Piagam dan sertifikat berjejer. Ia ingat, setahun yang lalu sebuah bingkai berisi logo Provinsi diserahkan oleh Gubernur. Ayah bangga. Sangat bangga. Itu alasan motor matic merah kesayangannya ada di garasi.
Gagang pintu bergerak. Langkah kaki pelan mendekati pembaringan. Lamunan Rosa tiba-tiba buyar. Tangisnya pecah. Ia biarkan perempuan berumur lima puluh tahun itu mengelus dan membelai rambutnya. Memang Ibulah yang selalu jadi sandarannya.
“ Ros, Ayah itu sayang sama kamu”. Ibu membujuk
“ Sayang kok marah-marah Bu?”
“ Kamu itu beda. Banyak anak gadis di luar sana. Punya segalanya. Bisa pergi semaunya. Mereka malah senang tidak diurus. Ada malah yang tidak melihat Ayahnya sebulan”. Tambah Ibu.
Bibir Rosa masih kaku. Ia tahu Ibu selalu begitu. Tak tahu mau membela siapa. Tapi terkadang, Ibu yang sering menguatkannya. Kini, Rosa sadar tak bisa lagi seleluasa teman sekelasnya. Jalan-jalan sore, nimbrung tiap hari di kafe dan tak langsung pulang ke rumah. Setiap hari, pagar sekolahnya ditinggalkan satpam pukul dua siang. Parkiran kosong. Jalanan depan sekolah mulai sesak. Asap motor beradu di jalanan. Ia pernah dua kali berada di kemacetan dengan menunggangi kuda besi hadiah Ayah dan tak belok ke jalan Dusun. Seisi rumah panik. Pukul sembilan malam, Ayah datang dengan muka masih merah dan berat lalu menyerahkan kunci dengan gantungan boneka hello kitty ke Ibu. Rosa ingat betul kejadian itu. Berapa kali ia coba tidak mengungkitnya lagi. Tapi, tiap Ayah marah soal motor, Ia tak bisa menolak kenangan itu bertamu di pikirannya.
Hening. Tatapan Rosa masih sayu.
“ Kamu anak satu-tunya, mesti jadi kebanggaan keluarga. Terlalu larut dalam pergaulan tidak baik nak”. Rayu Ibu pelan.
Rosa lemas, wajahnya kusam. Ia paham maksud Ibu. Lagipula, ia sudah merasa bukan anak-anak lagi. Harus sudah bisa berpikir tentang mimpi-mimpinya. Tentang mengapa semua piagam itu ada di dinding kamarnya. Toh, semua untuk Ayah dan Ibu. Untuk dua orang yang paling ia sayangi itu. Rosa tersentak, sadar. Sekonyong-konyong ia lepaskan pelukan Ibu. Anggukannya meyakinkan Ibu kalau ia sudah paham mengapa Ayah selalu bersikap super protective padanya. Dan hadiah Ayah membuatnya dilema. Dunia yang ia jalani akan sangat berbeda dengan teman-teman sebayanya yang memilih menghabiskan masa remaja dengan bersenang-senang.
Detak jam dinding tak mau menunggu dan terus melangkah. Melihat anaknya memelas, menguap sejadinya, Ibu paham lalu bangkit meninggalkan kamar, memencet saklar putih polos dan menutup pintu.
Seisi rumah kini pekat, kecuali halaman depan. Selalu seperti itu sejak dulu. Sementara suara jangkrik makin jelas. Rosa yang pikirannya mulai jinak, memeluk bantal guling kesayangannya. Jantungnya tak lagi kewalahan memompa darah, ia cukup tenang, setidaknya untuk malam ini. Ingin sekali ia melupakan semua kejadian hari ini. Ya, hari ini saja.
Home »
» Cerpen: Motor Matic Rosa
Cerpen: Motor Matic Rosa
Musdin Musakkir
March 31, 2017
No comments
Powered by Blogger.