Kopilogi
Responsive Banner design

Om Kurir Parepare


Jasa pengiriman dan pengantaran (baca: delivery) paket lagi di puncak kejayaannya. Dampak pandemi Covid-19 membuat banyak orang enggan keluar rumah. Maka menggunakan jasa kurir menjadi salah satu solusi. 

Di Parepare juga sudah mulai menjamur jasa kurir. Tarif murah ditawarkan dengan gencar. Namun sayang, mudah dan murah ternyata jadi mata pisau bagi kurir. 

Tarif murah memang menguntungkan bagi konsumen. Pesan apa saja tidak takut kantong jebol. Sebaliknya, ongkir yang kelewat miring menjadikan kurir ibarat sapi perah. 

Pembagian hasil yang tidak rata berdampak serius pada pendapatan kurir. Maka, semakin murah tarif layanan, makin sedikit pula yang didapat kurir. 

Om Kurir Parepare hadir memberi solusi. Layanan terjangkau bagi konsumen dan tetap layak bagi para kurir. Kemudahan pemesanan lewat aplikasi pesan instan Whatsapp. 

Follow juga akun Instagram Om Kurir di @omkurir_parepare atau hubungi langsung nomor 0857-5692-6421! 

Om Kurir Parepare "Your Delivery Partner"


Gogoso Mama Hendar



Gogos merupakan kudapan tradisional yang banyak digemari masyarakat di Sulawesi Selatan. Di Enrekang, gogos sendiri akrab disebut gogoso. 

Makanan ini terbuat dari beras ketan. Jika diperhatikan sekilas, mirip lemper yang populer di tanah Jawa. Namun, tidak seperti lemper yang biasa terdapat isian di dalamnya, gogoso hanya berisi ketan hitam saja yang dibungkus daun pisang, dengan bentuk bulat memanjang lalu dibakar di atas arang. Kadang juga, gogoso diisi kelapa yang sudah disangrai. 

Di Enrekang, gogoso bisa ditemukan di pasar-pasar. Meski demikian, makanan ini tidak lagi sepopuler dulu. Bahkan, semakin sulit ditemukan. 

Misalnya, dikawasan fasilitas publik seperti SWISS (Sekitar Wilayah Sungai Saddang), penjual gogoso tidak akan banyak ditemukan. Hanya Mama Hendar -begitu ia disapa- penjual gogoso satu-satunya. Letak warungnya persis di ujung jembatan Sungai Mata Allo. 

"Saya sudah berjualan di sini sejak jembatan ini baru dibangun. Kurang lebih sepuluh tahun", terangnya. 

Sekilas, tidak ada yang khas dengan gogoso Mama Hendar. Sama saja dengan kebanyakan gogoso yang ditemui di pasar-pasar. 

Tapi, ada kisah tersendiri yang mungkin menginspirasi banyak orang. Dari hasil berjualan gogoso, dua orang anaknya dibiayai kuliah hingga lulus dan bekerja. 

"Saya cuma berjualan gogoso dek, tapi Alhamdulillah selesai ji kuliah dua anakku. Satu orang perempuan sekarang jadi perawat dan bekerja di sebuah rumah sakit di Makassar." Ujar wanita paruh baya itu dengan bangga. 

Ia mengaku, anak-anak mereka rutin mengirimkan uang. Malah, diakuinya bahwa semua itu lebih dari yang ia perlukan. Orangtua ini sudah bersyukur anak-anaknya bisa sukses dan bekerja. 

"Kalau bapak bekerja di kantor PU. Sekarang, gaji yang diterima sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak seperti waktu masih berjuang membiayai pendidikan anak-anak", tambahnya. 

Mama Hendar mungkin tidak tahu sampai kapan ia akan berjualan gogoso. Diakuinya, pembeli gogoso masih ramai di hari-hari libur. Para pejalan kaki yang datang menikmati pemandangan di SWISS kerap singgah menikmati kudapan bikinannya. Ada juga yang datang membeli untuk dinikmati di rumah. Itulah yang mungkin membuat Mama Hendar masih betah berjualan gogoso. Bahagia melakukan sesuatu meskipun sederhana di mata orang-orang. 

RINDU (Sebuah Puisi)





Katakan, aku harus apa?
Merayumu sampai habis kata-kataku?

Atau...,
Men-diam-kanmu, lalu diam-diam mencintaimu?

Ah, aku kalah!
Baru jatuh cinta saja sudah payah

Bolehkah kelopak mata itu kubisiki saja?
Agar kutahu berapa kali ia tak berkedip kala menatapku

Atau, kuhitung saja degup jantungmu kala tersipu?
Atau kuucap salam perpisahan agar kau mencegatku?

Atau..
Aku menghilang, dan kau panggil aku...rindu

Kita Semua Bucin!




Lagi, notifikasi pesan whatsapp di ponsel saya muncul. Pesannya sama seperti kemarin. Candaan garing namun akrab. Saya suka hal-hal semacam ini. Meski, kerap membukanya di waktu-waktu istirahat. Alasannya, saya ingin tertawa sepuas-puasnya demi melepas lelah.

Saya bilang itu garing sebab hal yang tiap hari dikonsumsi tak bisa lagi dianggap empuk. Garing bukan berarti tak bisa dimakan, kan? Malah garing tetap bisa bikin kenyang.

BUCIN adalah kegaringan yang selalu bikin saya kenyang kala menatap layar ponsel. Sebagian lainnya mungkin anggap itu berlebihan, keterlaluan dan kurang kerjaan. Buang-buang kuota internet. Tapi kok saya bahagia, ya?

Akhir-akhir ini "bucin" menjadi frasa yang digunakan untuk menyapa seseorang. Tidak hanya itu, kadang "bucin" menjadi semacam kata kunci agar bisa masuk dan diterima di lingkungan sosial atau pertemanan.

Bucin alias budak cinta adalah sebuah bentuk kepatuhan dan kesetiaan. Siapa yang tidak pernah merasa bucin , boleh jadi tidak pernah berbahagia ataupun membahagiakan. Itu pendapat saya. Bagi yang berbeda pandang, tabe, silakan!

Lagipula, "bucin", yang tak masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya membebaskan masyarakat Indonesia memiliki tafsiran sendiri sesuai selera. Bukan lagi "Budak Cinta" yang terdengar alay dan lebay.

Bagi saya, dalam sebuah kelompok,  penting untuk tetap menjaga kedinamisan. Alasannya, setiap kelompok punya ritme dan pola yang berbeda. Jenuh dan bosan menjadi hal wajar. Siapapun yang mengalami itu, tentu akan terkungkung dan berupaya mencari jalan keluar.

Tentu, tidak perlu jauh-jauh mencari jalan keluar. Sebagai makhluk sosial, kita punya banyak bekal untuk tetap bisa beradaptasi dan berkomunikasi dengan baik. Membuka diri dan menerima keadaan yang berubah setiap saat adalah salah satu solusinya.

Sebenarnya, kita lebih "bucin" dari orang-orang yang dianggap bucin dalam sebuah kelompok. Karenanya, "bucin" memang mesti disepakati menjadi kosa kata baru, sama seperti "ces", "bos q", "cika", "say", dan lainnya. Bahkan, saking bucin-nya, orang tua kita juga punya panggilan sayang, "papi" atau "mami".

Karenanya, penggunaan kata "bucin" untuk menyapa dan bercanda agar keakraban tetap bertahan menjadi penting dilakukan. Tujuannya, sekali lagi, untuk mengakrabkan diri. Bukan merendahkan.

Bergabung dalam sebuah kelompok, berarti menerima keberadaan sekaligus keberagaman perilaku setiap individu dalam kelompok tersebut. Semakin akrab pertemanan yang terjalin, semakin aneh pula perilaku dan sapaan yang diterima. Bukankah itu juga suatu kebahagiaan?

 Bagaimana, siap jadi BUCIN?

(Dari Kakak tingkatmu yg juga Bucin, wkwkwk)

Tiga puluh satu juta seratus empat ribu kali


Saya suka sekali membaca buku-buku motivasi. Ada untungnya juga,  selain membangkitkan semangat diri,  kisah-kisah inspiratif yang saya baca kerap saya bagikan ke orang-orang terdekat. Dan, efeknya luar biasa. Seperti virus, kisah itu menjangkiti pikiran mereka. Bahkan,  bersemayam di sana.

Selain buku,  tentu banyak pula artikel-artikel bergenre motivasi-inspirasi yang tersebar di dunia maya. Mereka -para penulis- juga ikut membagi kisah menarik agar semua pembaca bisa merasakan hal yang sama sekaligus memetik hikmah dari apa yang mereka bagikan.

Soal tiga juta seratus empat ribu kali itu bagaimana ceritanya?

Itu soal bagaimana meyakinkan diri untuk bisa berbuat lebih. Sebagai manusia,  kita sebenarnya punya kemampuan yang tak terbatas.  Hanya, kadang kala kita ragu soal kelebihan itu. Standar kita terhadap kemampuan diri sebatas persepsi kita terhadap diri sendiri. Padahal,  apa yang kita khawatirkan sebenarnya bukanlah hal yang sulit sebab setiap hari pun kita sanggup menjalani puluhan aktivitas berbeda tanpa disadari.

Kisah ini saya temukan di salah satu laman khusus berbagi motivasi. Adegan dialog antara tukang jam dengan jam buatannya kira-kira begini:

“Hai jam, sanggupkah kamu berdetak paling tidak 31.104.000 kali selama setahun?” tanya tukang jam memulai.

“Hah?,” jam terperanjat, “Mana mungkin saya sanggup ?”

“Bagaimana kalau 86.400 kali dalam sehari?”

“Delapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?” jam menjawab dengan penuh keraguan.

“Bagaimana kalau 3.600 kali dalam satu jam?” tantang tukang jam.

“Dalam satu jam harus berdetak 3.600 kali? Itu masih terlalu banyak”, tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.

Dengan penuh kesabaran, Tukang jam itu kemudian bertanya lagi:
“Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?”

“Naaaah, kalau begitu, aku sanggup!” kata jam dengan penuh antusias.

Akhirnya setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Hingga akhirnya tanpa terasa, detik demi detik pun terus berlalu. Apa yang terjadi sungguh diluar dugaan karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31.104.000 kali.

Jam, pada awalnya ragu akan kemampuan dirinya. Ia begitu takut menghadapi hal-hal besar yang sebenarnya sangat mungkin dilakukan. Tanpa disadari, ia terus-menerus melakukan hal yang menurutnya ringan dan sepele meski pada akhirnya hasilnya sungguh luar biasa. Hal yang dianggap kecil tapi dilakukan terus menerus akan menghasilkan sesuatu yang besar dan menakjubkan.

Meski kisah ini fiktif, tentu bukan alasan untuk mengabaikan hikmahnya. Layaknya jam tadi,  manusia punya kemungkinan lebih besar untuk melakukan hal-hal besar dengan modal keyakinan diri serta kesanggupan untuk memulai dengan konsisten. Kalau toh tak sanggup melakukan gebrakan setiap detik, menit, atau jam,  paling tidak kita punya waktu 30 hari dalam sebulan untuk mengasah potensi diri sekaligus menemukan keajaiban-keajaban luar biasa yang dimiliki diri kita. Bagaimana? Siap menemukannya?

Powered by Blogger.

Terpopuler

Kategori